Sabtu, 23 Mei 2015

Penjaga Sekolah yang Menyeramkan

0 komentar


Suati hari ada 5 orang sahabat yang selalu bersama-sama, nama mereka adalah Widya, Aldo,,Putra, Goris dan Shinta. Mereka bersekolah di SMP N 14 Kendari. Mereka semua sekolah pada siang hari dan pulang pada malam.
Pada sore itu mereka sedang duduk di dalam kelas sambil berbincang-bincang tentang hantu
“di sekolah kita ada hantu berbadan hitam dan memegang cahaya terang di tangannya” kata Shinta.
“Iihh seram banget!” Kata Goris
“apa itu di dekat jendela, kayaknya itu hantu?” Kata Putra
Serempak mereka berkata “di mana?”
“Tapi aku bohong, hahahahah” Putra pun tertawa terpingkal-pingkal.
Semua teman-temannya pun langsung memarahi Putra.
Jam pelajaran Matematika berlangsung yang diajarkan oleh Bu Hamna, Putra pun melihat sekelebat bayangan hitam lewat “Teman-teman apa itu? Ada bayangan hitam” kata putra
“ah, aku tidak percaya” kata Widya
“hahaha Putra… Putra… Kamu kerjanya bohong terus sih, jadi kamu tidak dipercaya lagi” kata Aldo.
Putra pun menenangkan dirinya dan berpikir itu hanya perasaannya saja.
Jam pelajaran pun selesai mereka semua sedang duduk di bangku taman dan hari sudah mulai gelap.
“Apa itu, sepertinya itu hantu yang kita ceritakan tadi!” Kata Widya
“baiklah kalau begitu lebih baik kita pastikan.” Kata Aldo
“OK” kata mereka semua.
Sesampai di bayangan hitam membawa cahaya terang mereka semua sangat kaget ternyata itu bukan hantu, Akan tetapi itu pak Rusdin. “Apa yang Bapak lakukan disini?” Tanya Shinta
“Sebenarnya saya hanya piket malam.” Kata pak Rusdin.
Read more ►

Valentine yang Menyakitkan

0 komentar

 Pagi itu di sebuah sekolah menengah pertama, tepatnya SMP HARAPAN 2, langit terlihat cerah burung-burung pun berkicau riang seperti biasanya. Suasana cerah itu berbeda dengan suasana hati seorang gadis yang sedang dilanda dilema, Mira. Gadis cantik itu sedang berdiri di depan ruang kelas yang terletak di lantai dua bangunan sekolah ini. Akhir-akhir ini pikirannya dibingungkan dengan akan datangnya hari Valentine atau hari kasih sayang, seumur hidup ia tak pernah merayakan valentine. Bukan karena apa, gadis ini memang baru menginjak kelas 1 SMP, dan ia pun tak tau harus merayakan valentine itu bersama siapa.
“Hai Mir! Pagi-pagi sudah melamun kamu ini.” Enta, sahabat gadis itu tiba-tiba menghampiri.
“Hai Enta! Sudah datang ya kamu?” jawab gadis yang bernama Mira itu.
“Tentu saja, buktinya aku ada di depanmu sekarang. Apa yang sedang kamu lamunkan Mir?” Tanya Enta.
“Gini En, kamu tahu sendiri kan sebentar lagi itu mau ada hari kasih sayang,” Mira berkata sambil menatap Enta, “aku itu ingin merayakannya, tapi aku tak tahu harus merayakannya bersama siapa.” Lanjut Mira.
“Oh masalah itu, mengapa tidak mencoba bersama Daniel? Dia kan laki-laki yang paling dekat denganmu menurutku.” Ujar Enta, sahabat Mira itu.
Mira terdiam, apa benar ia harus merayakannya dengan Daniel? Tapi Enta benar juga, hanya Daniel orang yang paling dekat dengan Mira saat ini. Mereka tidak pacaran, hanya sebagai sahabat tepatnya, mungkin Mira tidak memikirkan pacaran mengingat dirinya baru duduk di bangku kelas 1 SMP. Sambil merenungkan kata-kata Enta yang kini orang pemberi kata-kata itu telah memasuki kelas, tiba-tiba saja Mira melihat Daniel datang. Sebenarnya Mira ingin mengatakan hal itu pada Daniel, tapi keadaan sedang tidak mendukung karena bel masuk terdengar. Mira pun bergegas menuju tempat duduknya dan berniat mengatakannya nanti di waktu lain.
Guru mata pelajaran Bahasa Inggris sedang malas mungkin, ia tidak mengisi pelajaran hari ini. Mira memanfaatkan jam kosong itu untuk berbicara pada Daniel.
“Dan!” sapa Mira saat berada di bangku sebelah Daniel.
“Apa Mir?” jawab Daniel, Daniel pun meletakkan buku yang sedang dibacanya.
“Berikan aku kado valentine ya?” kata Mira tiba-tiba. Mungkin dia terlihat begitu bodoh mengatakan hal itu pada Daniel, sangat terlihat dari raut wajah Daniel yang berubah aneh memandang Mira.
“Buat apa kado itu?” kata Daniel.
“Ya bukan buat apa-apa, kita kan sahabat tidak ada salahnya kan?” ucap Mira meyakinkan. Tapi Daniel hanya terdiam.
Hari ini di kelas Mira dan Daniel tampak lebih dekat dari biasanya, bahkan Lisa, gadis yang sempat suka pada Daniel mengira jika Mira dan Daniel itu pacaran. Pada faktanya mereka hanya bersahabat dan mungkin Mira yang memiliki rasa lebih kepada Daniel, sementara Daniel sendiri tidak lebih menganggap Mira sebagai sahabat.
Bel pulang berbunyi, seluruh murid SMP HARAPAN 2 sudah pasti berhamburan keluar dari sekolah ini dan menuju rumah masing-masing, akan tetapi berbeda dengan siswa sekelas Mira, mereka masih latihan upacara sabtu siang ini untuk hari senin besok. Mereka masih duduk di depan mushola menunggu kakak OSIS yang akan melatih mereka. Daniel duduk di sisi kanan Mira sementara Enta di sisi kiri Mira.
“Aku banyak masalah En, bingung mau bercerita dengan siapa. Mungkin kamu bosan mendengar ceritaku.” Kata Mira kala itu pada Enta.
“Cerita padaku saja.” Sahut Daniel tiba-tiba yang kemudian dibalas dengan senyuman oleh Mira.
Latihan berjalan cukup sukses siang ini, semua petugas upacara melaksanakan sebaik mungkin. Begitu pula dengan Mira, meskipun ia harus mengeluarkan suara ekstra keras karena menjadi pembaca tata upacara. Selesai latihan teman-teman Mira pergi ke rumah masing-masing, Mira yang kala itu pulang menggunakan angkot sedang menunggu angkot di seberang sekolah. Ia bersama Daniel disana.
“Aku pulang dulu ya Mir, angkot jurusan ke rumahku sudah datang.” Kata Dainel saat itu pada Mira sambil berjalan, memang benar angkot yang menuju rumah Daniel sudah datang.
“Emm iya, tapi jangan lupa senin ya kadonya!” sahut Mira saat Daniel ada di dalam angkot.
“Ya kamu juga.”
Mira mengangguk dan sedetik kemudian angkot yang ditumpangi Daniel berjalan meninggalkan Mira, Mira sendiri menunggu angkot jurusan menuju rumahnya, hatinya senang sekali membayangkan bagaimana dia akan memberikan kado untuk Daniel. Tapi tunggu, Mira merasa bingung sekarang kado apa yang dia harus berikan pada Daniel mengingat kantongnya saja sedang kehausan?
Minggu pagi ini berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya bagi Mira. Gadis itu sudah bangun pagi sekali dan bersiap-siap entah kemana, pastinya dengan tujuan membeli kado untuk Daniel, mungkin semalaman tidak bisa tidur membuat Mira mendapat petunjuk dari jin tentang apa yang harus ia berikan untuk Daniel.
“Jam 8 masih lama ya?” Mira bergumam sendiri.
“Mau kemana Mir?” Tanya ibu Mira.
“Emm, itu bu Mira mau ke rumah Diana.” Kata Mira sambil tersenyum, Mira tidak bohong karena memang ia akan ke rumah Diana, akan tetapi dengan tujuan mengajak Diana ikut serta membeli kado untuk Daniel. “Jam 8 nanti.” Lanjutnya.
“Baiklah tetapi jangan lupa untuk menyapu dan membersihkan rumah ini dahulu.”
Mira bergegas melaksanakan apa yang diperintahkan ibunya, setelah semuanya selesai ia lalu menghampiri ibunya di ruang makan untuk sarapan bersama tentunya.
“Mira minta uang ya bu?” kata Mira
“Ya nanti setelah makan ambil di tas, tidak usah terlalu banyak kamu hanya main ke rumah Diana kan? Lagipula dekat dan disana kamu juga akan disuguhi makanan pastinya.” Cetus ibu Mira. Mira hanya terdiam, mungkin usahanya untuk mendapat uang tambahan membeli kado bagi Daniel gagal.
Diana teman sekolah Mira, tetapi tidak satu kelas. Mira sering bermain dengan Diana karena rumah mereka berdekatan. Dengan semangat Mira mengayuh sepeda mini berwarna biru itu menuju rumah Diana, sesampainya di rumah Diana, Mira langsung dipersilahkan masuk.
“Ada apa Mir? Tumben pagi-pagi sudah kemari?”
“Eh, anterin aku beli kado ya.” Jawab Mira sekenanya.
“Kado? Ada yang ulang tahun?” Diana bertanya lagi, memang Mira tak menjelaskan atau tak bilang sebelumnya malah yang Diana tau tiba-tiba saja Mira ada di depan rumahnya.
Mira mendekatkan bibirnya ke telinga Diana, membisikkan sesuatu. Diana mengernyitkan keningnya dan tertawa meninggalkan Mira.
“Ya sudah aku ganti baju dulu.” Ujarnya kemudian.
Diana dan Mira memutuskan untuk mencari coklat di sebuah swalayan yang jaraknya cukup jauh dari kediaman mereka, apalagi sang surya benar-benar menyala terang membuat kening mereka dipenuhi butiran-butiran air asin. Puas mereka berkeliling tak ada yang cocok, dilanjutkan perjalanan pencarian kado itu ke tempat yang lebih jauh. Hingga ayunan pedal sepeda yang dikayuh Mira terhenti di sebuah toko kado.
“Aku benar-benar lelah ikut kamu Mir!” cetus Diana saat itu dengan nafas terengah-engah.
“Ya maaf na, mau bagaimana lagi? Kamu mengerti perasaanku kan?” kata Mira memelas.
“Ya, lalu apa yang kita beli disini?” Tanya Diana.
Mira menerawang, berpikir apa yang akan dibelinya, merenung, dan diam. Kosong. Tidak ada satu pun pemikiran bagus untuk kado hari kasih sayang itu. Diana yang melihat sahabatnya seperti orang cengo itu langsung mengambil langkah tegas dengan masuk ke dalam toko itu, mengambil sebuah coklat berukuran sedang berikut gantungan kunci kecil, membayar dua barang itu dikasir, dan membiarkan Mira termenung dengan wajah kebingungan melihat tingkah Diana.
“Kamu kok tiba-tiba masuk na?” Tanya Mira saat Diana keluar dari toko itu membawa bingkisan barang yang ia beli tadi.
“Kelamaan nunggu kamu! Ini, mana ganti uangnya?” ujar Diana saat itu yang diakhiri dengan todongan tagihan kepada Mira.
Mira hanya diam dan memberikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan kepada Diana, mungkin Diana sudah menolongnya sehingga ia tidak perlu berlama-lama mencari kado.
“Kembaliannya aku ambil ya.” Sahut Diana setelah mengambil uang di tangan Mira, ya Diana mengambil kembalian uang itu sambil tertawa.
Hari yang ditunggu Mira akhirnya datag juga, ya hari senin 14 Februari. Tidak hanya karena hari ini Mira memberikan kadonya untuk Daniel, tetapi hari ini Mira menjadi petugas upacara untuk yang pertama kalinya di SMP HARAPAN 2.
Di sekolah tampak sepi, mungkin Mira yang terlalu bersemangat pagi ini. Mira berjalan menaiki tangga menuju ruang kelasnya, di depan kelas ia melihat Enta, sudah datang rupanya sahabatnya itu. Ia hendak meletakkan tas nya, Daniel ada di dalam kelas. Detak jantung Mira mendadak cepat ketika itu, tapi Daniel tak mempedulikan Mira dan masih dengan santai menatap buku yang digenggamnya.
“En, aku bawa kadonya loh.” Bisik Mira pada Enta saat sudah ada di sampingnya kala itu.
“Oh, jadi buat Daniel?”
Mira mengangguk.
Upacara hari ini berjalan lancar, Mira berikut teman-teman di kelasnya mampu menjadi petugas yang baik dan sukses terlepas dari kegugupan yang melanda mereka pastinya. Tidak terlalu buruk mengingat ini upacara pertama bagi mereka menjadi petugas. Daniel dan Enta mampu menjadi kompi yang baik, Mira mampu menjadi pembaca tata upacara yang baik pula, sukses.
“Dan, kamu bawa kan?” Tanya Mira yang menghampiri Daniel saat jam kosong di kelas.
“Kado?” Tanya Daniel balik, Mira langsung mengangguk sebagai jawaban. “Oh, iya bawa.” Kata Daniel.
“Bagus deh.” Kata Mira dengan senangnya dan berlalu pergi dengan menyisakan lengkungan kecil di bibir mungilnya.
“Tapi Mir..” Daniel memanggil, tak dihiraukan oleh Mira. Ia terlalu senang.
Mira menghampiri Enta yang sedang duduk sendiri di bangkunya, Enta nampak termenung entah apa yang ada dipikirannya, padahal Mira akan memberikan kabar bahagia untuk Enta. Sebenarnya ini bahagia untuk Mira, tapi Enta juga akan ikut bahagia bukan jika Mira bahagia?
“En, Daniel bawa kadonya loh.” Ucap Mira masih dengan senyuman.
“Maaf ya Mir, apa tidak sebaiknya kamu memberikan kado itu untuk orang lain?” kata Enta. Aneh sekali sikap Enta hari ini menurut Mira.
“Kenapa En? Lagipula Daniel juga membawa kado untukku.”
“Tapi Mir..”
“Kamu tahu tidak? Kemarin aku bener-bener berjuang buat beli kado itu, panas, jauh, capek, semuanya buat kado itu. Aku rela asalkan itu untuk Daniel, semoga Daniel suka ya En.” Mira memotong ucapan Enta dan menjelaskan dengan bersemangat.
Enta tersenyum, tak bisa lagi ia mengucapkan kata-kata.
“Baiklah anak-anak, kerjakan PR kalian di rumah dan jangan lupa besok dikumpulkan, selamat siang.” Ujar guru fisika itu sambil berlalu keluar meninggalkan kelas.
Anak-anak sekelas Mira pun juga ikut keluar kelas untuk kembali ke rumah masing-masing, tetapi Mira, Daniel dan Enta masih ada di dalam kelas. Mira memang sengaja menyuruh Daniel untuk tidak pulang terlebih dahulu, tentu saja Mira ingin memberikan kado itu untuk Daniel
Setelah dirasa semua anak sudah tidak ada, dan kelas sudah sepi, Mira menghampiri Daniel, “Dan, ini kado dari aku.” Ucap Mira sambil memberikan bungkusan kado berwarna merah jambu itu kepada Daniel.
“Iya Mir, terimakasih.” Jawab Daniel datar.
Hening. Daniel tak melakukan apa-apa selain mengucap terimakasih.
“Ehm, Dan, aku juga mau bilang terimakasih karena kamu sudah perhatian sama aku, sudah baik sama aku, dan sudah mau menjadi sahabatku selama ini, aku sungguh bahagia telah mengenal kamu.” Ujar Mira sambil tersenyum.
Kata-kata Mira baru saja tentunya berhasil membuat Daniel bingung, “Perhatian? Baik?” kata Daniel pada Mira.
“Memang benar bukan kamu perhatian sama aku? Aku bahagia sekali Dan, andai kamu tahu itu. Oh ya, mana kado untukku?”
“Maaf Mir, tapi aku sama sekali tidak pernah merasa perhatian padamu dan untuk kado itu aku tidak ada.”
“Apa? Sudahlah tidak usah menggodaku seperti itu Dan, aku tahu kau pasti menyembunyikannya, bukankah kau tadi mengatakan kau membawa kadonya.”
“Mira cukup! Berhenti bertingkah konyol seperti itu, aku tidak menggodamu sama sekali, aku memang membawa kado tapi bukan untukmu. Itu untuk Nina.” Kata Daniel. Begitu mudah memang bagi Daniel untuk mengatakan hal itu pada Mira, seperti tidak ada halangan apa-apa tentunya. Sementara Mira masih mematung tak percaya.
“Tapi Dan… bukankah kau sudah berjanji untuk kado itu? Bagaimana mungkin kamu bisa pacaran sama Nina.” kata Mira dengan suara bergetar. Tak percaya.
“Maaf Mir, aku tak pernah merasa perhatian padamu, kita hanya teman, atau jika kamu menganggap sahabat, baiklah terserah. Tidak lebih dari itu. Aku menyukai Nina sejak lama, bukan kau! Dan untuk kado itu aku mengira hanya lelucon, tidak lebih.”
“Hanya teman? Kado itu hanya lelucon menurutmu? Baiklah. Terimakasih untuk segalanya Daniel. Semoga kamu bahagia bersama Nina.” Mira sekuat hati membendung air yang ada di pelupuk matanya itu, tak pernah menyangka dia kalau Daniel akan tega mengatakan itu, hal yang sangat menyakitkan untuk Mira.
“Iya sama-sama. Sekali lagi terimakasih.” Ucap Daniel lalu melangkah keluar kelas dan menuruni tangga untuk pulang ke rumahnya.
Mira hanya dapat memandang punggung lelaki yang disukainya itu, sakit sekali rasanya jika harus berakhir seperti ini, tangisnya pecah. Enta yang juga ada disana merasa tidak tega dengan apa yang dialami Mira, dia tahu betul apa yang dirasakan sahabatnya saat itu.
“Sudahlah Mir, hentikan tangismu. Aku juga baru tahu jika Daniel menyukai Nina padahal kau dan dia sudah sangat dekat.” Enta mencoba menenangkan Mira.
“Tapi En, aku masih tak percaya. Bagaimana bisa Daniel bersikap seperti itu, harusnya dia berkata dari awal kalau dia menyukai Nina, sehingga tidak perlu aku mempermalukan diriku seperti tadi!” masih dengan diiringi isakan Mira berkata pada Enta.
“Iya, sudahlah lupakan Daniel. Kamu sabar saja ya.” Hanya itu yang mampu Enta ucapkan untuk sahabatnya, Mira.
Alunan lagu sendu menemani Mira di kamarnya saat ini. Masih dengan isak tangis Mira termenung sambil memeluk bonekanya, dibenamkan wajah memalukan itu di balik punggung bonekanya. Masih tak percaya Daniel tega melakukan itu, mungkin Mira yang bodoh karena menganggap perhatian Daniel itu sesuatu yang berharga, padahal bagi Daniel tidak begitu berarti. Pengorbanan Mira kemarin mencari kado sia-sia rasanya, pelajaran baru bagi gadis yang baru menginjak remaja seperti Mira. Valentine pertamanya, valentine yang menyakitkan untuknya! Untuk pengalaman baru ini, terimakasih hidup…
Read more ►

HUJAN YANG SAMA

0 komentar


“Rian…!” teriakmu yang hampir memecahkan gendang telingaku, hanya karena aku sering menggodamu. Kala itu kita masih belum mengerti apa artinya cinta dan mengucapkan kata itu juga belum pernah, karena umur kita saat itu masih sangat belia untuk memahaminya. Setiap pagi kita selalu berangkat bersama-sama menuju sekolah dasar yang tidak terlalu jauh dari rumahku, kamu selalu setia menungguku di depan rumah di bawah pohon mangga yang tampak tak layak untuk hidup lagi. Setiap kali aku keluar dari rumah kamu sudah berada di sana seorang diri dengan rambut berkepang dua dihiasi poni di depannya dan duduk di sebuah kursi kayu yang tampak sedikit rapuh sambil membaca buku dongeng kesukaanmu. Setiap kali ku tanya “apakah kamu sudah lama menungguku?” kamu selalu menjawab “aku baru saja sampai”. Aku yakin pada saat itu kamu pasti sudah lama menungguku hanya saja aku yang selalu membuatmu terlalu lama kesepian menungguku, padahal aku sudah tau setiap hari kamu datang dan rela menunggu kubangun tidur hanya untuk berangkat sekolah bersamaku.
Mungkin karena jarak rumahku dan sekolah terlalu dekat hingga aku sengahja beralama-lama pergi ke sekolah, biasanya jika kamu marah karena terlalu lama menunggu, aku akan kembali menyalahkan yang dengan bodoh mau menungguku. kamu selalu diam jika aku sudah berbicara seperti itu tanpa mengerti perasaanmu aku berbicara semaunya saja. Kamu langkahkan kakimu dengan cepat sebagai tanda kamu kecewa padaku agar aku mau minta maaf dan mengakui kesalahanku. Untuk kesekian kalinya pada waktu itu aku melakukan kesalahan yang sama, disaat itu matahari enggan bersinar karena tertutup awan gelap yang mengeluarkan tetes demi tetes air ke tanah. Aku tak menyangka hari itu kamu masih setia menungguku di tempat yang sama namun kali ini kamu tidak memegang buku melainkan sebuah payung berwarna merah muda dengan motif bunga yang tidak ku kenal.
Seharusnya pada hari itu aku tahu bahwa kamu pasti menungguku, karena kebiasaan itu setiap hari kamu lakukan terkecuali pada saat libur. namun aku terlalu tidak mengerti kamu, tanpa bersalah aku membiarkanmu menunggu dengan guyuran air hujan yang membuatmu menggigil kedinginan sedangkan aku tidak juga keluar menemuimu karena berniat bolos sekolah. Aku sangat bersyukur sekali karena pada saat itu ibuku berada di rumah dan melihatmu tampak membeku kedinginan hanya berlindung dengan sebuah payung di bawah pohon mangga. Kamu memang tidak mau memanggil ataupun mengetuk pintu rumah kami jika kamu datang ke rumahku, hanya dibawah pohon mangga yang menjadi tempat setiamu menghabiskan waktu jenuhmu, aku tidak tahu mengapa tidak sekalipun kamu mau memangilku atau mengetuk pintu rumah kami.
Ku lihat kamu sudah duduk di sofa dalam ruang tamu rumahku sambil memegang sebuah gelas bening yang berisi teh panas buatan ibuku. Mataku masih tampak sipit karena dipaksa bangun oleh ibuku untuk menemuimu, sedangkan ibuku tidak bisa menemanimu ngobrol karena harus melanjutkan pekerjaan rumah tangganya.
“Arin… kenapa hujan-hujan kamu kesini” ucapku tiba-tiba seolah melarangnya ke rumahku
“setiap hari kan aku selalu datang kesini, hari ini kan sekolah, aku sampai bolos dan kehujanan gara-gara menunggumu” sahutnya dengan rasa kecewa
“itu kan salahmu, sudah tahu hujan masih saja menungguku, tak bisa apa satu hari saja kamu tidak menungguku” balasku. Entah apa yang terpikir olehku hingga pada saat itu aku bisa mengucapkan kalimat yang sangat menyakitkannya dan aku sangat yakin Arin pasti sangat kecewa dan ingin marah padaku, namun ia terpaksa menahannya karena takut ibuku akan mendengar pertengkaran kita. Lagi-lagi kamu hanya terdiam setelah mendengar perkataanku itu. kamu tidak mau memperpanjang masalah dan meneguk kembali the panas yang masih tersisa.
Belum sempat aku duduk menemanimu, kamu sudah beranjak bangkit dan dengan nada marah kamu pamit pulang.
“Baiklah kalau begitu aku mau pulang” ucapmu dengan rasa kecewa
“Apa! Jadi aku dibangunkan tidur hanya untuk mendengar ucapan pamitmu” sahutku merasa sangat marah.
“baiklah, aku tidak akan pernah lagi mengganggu tidurmu”
Kamu begitu saja keluar rumah tanpa berpamitan dengan ibuku, hujan yang belum juga reda mengiringi langkah kakimu yang terlihat lemas dan dipenuhi rasa kecewa tapi pada saat itu aku masih belum merasakan hal itu, tanpa ada rasa bersalah telah membiarkanmu menunggu dalam guyuran hujan dan hanya sebuah payung yang melindungimu, aku kembali membiarkanmu harus diterpa benda dingin itu tanpa ada usaha untuk melarang atau mencegahmu meninggalkan rumahku. Entah emosi apa yang ada dalam diriku pada saat itu yang sampai hati membiarkanmu harus mengarungi setapak-setapak berlumpur sendirian akibat keangkuhanku. Mungkin karena aku terlalu belia untuk memahami hatimu dan aku juga tidak tahu mengapa kamu saat itu bertindak seoalah-olah seperti seorang remaja yang sedang kecewa karena cintanya ditolak atau marah karena diabaikan.
Aku begitu yakin dengan diri sendiri bahwa kamu tidak akan bisa marah dengan ku terlalu lama, cuma butuh satu hari untuk membuatmu mau kembali berteman denganku dan aku yakin kamu tidak akan bisa pergi ke sekolah jika tidak bersamaku. Keyakinan itu membuatku melupakan bahwa dirimu adalah seorang perempuan dan manusia biasa yang pasti memiliki rasa marah, kecewa bahkan juga rasa benci. Pagi itu tidak seperti pagi sebelumnya yang dingin karena guyuran hujan, matahari sangat ceria, awan di langit juga putih membetuk pola-pola abstrak yang begitu menawan.
Aku tidak berniat bolos sekolah lagi, terlalu bodoh jika aku menyia-nyiakan suasana pagi yang hangat itu, tanpa mengingat kejadian terakhir kali bersamamu aku keluar dari rumah berseragam rapi putih merah, aku ingin menemuimu di bawah pohon mangga tempat biasa kamu menungguku. Ada yang sedikit berbeda di pagi itu, saat aku keluar dan melihat ke arah pohon mangga tidak ada sosok gadis mungil yang biasanya setia menunggu di bawah pohon tua itu. Hal itu aneh bagiku karena sudah terbiasa setiap hari sekolah melihatmu nangkring di sana dan hari itu tampak sepi hanya daun dari pohon tua itu yang berserakan di tanah. Aku tidak sadar sama sekali hal apa yang menyebabkanmu tidak menungguku hari itu, dengan penuh pertanyaan aku ke sekolah karena kuyakin kamu pasti sudah berada disana.
Perkiraanku tepat sekali, kamu sudah berada di kelas dan duduk di bangku paling depan sedang asik bercanda dengan Rika dan Titin teman-teman perempuanmu. Hal itu kembali membuatku merasa aneh, karena biasanya kamu selalu duduk di bangku paling belakang bersamaku, ingin sekali aku menghampirimu namun lonceng masuk membuyarkan niatku. Selama belajar aku selalu mengawasimu hingga aku tidak memahami apa yang diajarakan oleh guru bahasa Indonesia saat itu, namun tidak satu kali pun kamu menoleh kearahku, kamu tampak begitu serius menerima pelajaran pagi itu. waktu terlalu lama berlalu ingin rasanya aku segera menemuimu dan berbicara empat mata denganmu karena kenapa hari itu kamu bertingkah aneh.
Lonceng pulang sekolah sudah berbunyi, tanpa membuang-buang waktu kukemaskan buku-buku dan peralatan belajarku, ku lihat kamu juga seperti itu namun kamu masih tidak mau menatap ke arahku. Aku segera menghampirimu ketika kamu sedang sibuk mengemaskan peralatan tulismu teman-teman yang lain sudah keluar hanya kamu dan aku saat itu. Kamu tetap terdiam saat melihatku tiba-tiba berada di dekatmu.
“Kenapa hari ini kamu tidak menungguku” ucapku tanpa rasa bersalah
“Untuk apa aku menunggumu”
“Tapi biasanya kamu menungguku” sahutku
“Aku tidak mau lagi menunggumu dan aku juga tidak akan melihatmu lagi”
Belum sempat aku meneruskan percakapan kamu sudah beranjak meninggalkanku begitu saja, kamu mengabaikan panggilanku saat aku menyuruhmu menungguku, kamu tampak begitu marah dan tidak pernah sebelumnya aku melihat kamu seperti itu. Kejadian itu sangat aneh hingga membuat aku mengingat-ingat kejadian apa yang sudah membuatmu bertingkah seperti itu, pada akhirnya aku sadar kejadian pagi saat hujan itulah yang menjadi penyebabnya. Rasa bersalah menghantui perasaanku saat itu dan ingin segera meminta maaf padamu, ingin rasanya ku putar jarum jam dinding yang ada di rumahku sehingga membuat hari itu berlalu cepat dan ingin segera kembali ke sekolah menemuimu.
Pagi-pagi aku sudah terbangun dan tidak seperti biasanya aku menjadi orang pertama yang datang ke sekolah, tidak lama menunggu murid-murid yang lain berdatangan namun kamu tidak muncul-muncul juga hingga loncong masuk berbunyi bahkan sampai lonceng pulang sekolah kamu juga tidak berada di kelas. Hal itu berlangsung hampir satu minggu, begitu sakit menahan permintaan maaf yang belum terucapkan, jarak rumahmu dan rumahku yang begitu jauh membuatku hanya bisa berharap menunggumu ke sekolah, seharusnya pada saat itu aku ke rumahmu seperti kebiasaan yang sering kamu lakukan menungguku meskipun hanya saat sekolah.
Sudah sebulan berlalu, kamu juga tidak pernah muncul ke sekolah lagi, apalagi mau menungguku di bawah pohon mangga tua depan rumahku. Terdengar kabar bahwa kamu sudah pindah sekolah ke sebuah kota yang sangat jauh dari desaku dan membuatku tidak mungkin bisa bertemu lagi denganmu. Begitu sakit rasanya mendengar berita itu apalagi dari orang lain, aku merasa kecewa dan marah karena kamu tidak pernah membicarakan hal itu denganku sebelumnya, kamu sengahja menyiksaku dengan rasa bersalah dengan pergi begitu saja meninggalkanku tanpa ada ucapan perpisahan dan membiarkanku mengucapkan kata “maaf”. Kenyataan itu memang sempat membuat tersiksa, namun itu tidak berlangsung lama karena karena waktu begitu cepat mengubah segalanya mungkin hal itu hanya sebuah bagian dari sisi hidup masa kecil atau bahkan sebuah coretan kecil dari sebuah pertemanan.
Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun aku tidak pernah lagi mendengar tentang dirimu, aku tumbuh dengan kehidupanku sebagai peria dewasa dengan latar kehidupanku yang juga sudah berbeda. aku tidak tahu bagaimana kehidupanmu, jarak yang telah memisahkan kita dan waktu yang telah membuat buram ingatanku membuat aku tidak pernah lagi mengenangmu bahkan untuk memikirkanmu saja waktu seoalah-olah tidak memberi kesempatan lagi padaku. Lima belas tahun berlalu memang sudah mengubah fisik, sifat dan ingatanku mungkin begitu juga denganmu. Aku telah disibukan dengan dunia kerjaku sebagai wiraswasta dan aku juga sudah beberapa kali menjalin hubungan kekasih dengan lawan jenisku hingga ingatan tentangmu di masa kecil tidak sempat untuk menyelip dalam otakku.
Entah itu jodoh atau hanya sebuah permainan waktu, tiba-tiba saja kita dipertemukan dalam kondisi yang tidak aku inginkan. Kamu datang di sebuah rumah makan milikku dengan seorang pria yang tampak mapan, berstelan kemeja biru muda dengan dasi bergantung di kerahnya. Sedangkan kamu tumbuh menjadi gadis yang begitu cantik, tidak ada lagi kepang dua dan poni menghiasi wajahmu, rambutmu terurai dan berwarna hitam berkilau penampilanmu begitu stylist ditambah lensa biru yang menghiasi bola matamu semakin membuatmu terkesan modis. Awalnya aku tidak mengenalmu hingga kamu menyuruh pelayan memanggilku untuk mengkomplain makanan yang kamu pesan.
“Ada apa mbak” ucapku dengan sopan
“Begini pak” tiba-tiba ucapanmu berhenti dan kaget melihatku
“Iya mbak ada apa” sahutku yang masih belum juga mengenalmu
“Kamu Rian kan?”
“Iya benar, mbak siapa ya” balasku balik bertanya
“Ya Allah, aku Arin sahabat kamu waktu kecil” sahutnya dengan nada yang begitu senang.
Aku tersentak kaget dan tidak pernah sama sekali membayangkan bisa bertemu dengan dia lagi aku juga merasa kecewa dengan diriku sendiri mengapa harus dia yang terlebih dahulu mengenalku bukan aku, setidaknya jika aku yang mengenalnya atau menyapanya lebih dulu membuktikan rasa bersalahku yang pernah ku perbuat padanya. Pria yang berada di dekatnya ikut tersenyum melihat kami, ingin sekali rasanya aku memeluknya meskipun hal itu belum pernah aku lakukan sama sekali ketika kami kecil dulu, namun ku abaikan niatku itu karena takut menimbulkan tanggapan-tanggapan negatif dari orang lain terutama dari pria yang bersama Arin yang mungkin adalah kekasihnya.
“Oh iya, sampai lupa ini Radit teman kerjaku”
Kami pun bersalaman dan memperkenalkan diri, perkiraanku ternyata salah, orang yang aku kira kekasih Arin ternyata hanya temannya. Tidak tahu kenapa hatiku merasa senang sekali tapi pertemuan kami tidak berlangsung lama karena mereka harus kembali bekerja setelah jam istirahat siang berakhir. Kami saling bertukar no hanphone agar bisa menjalin komunikasi kembali. Hubunganku dan Arin terjalin kembali meskipun belum pernah sama sekali aku mengucapkan kata maaf padanya, karena waktu yang sudah begitu lama memisahkan kami hingga kata-kata itu terlupakan begitu saja. Arin juga tidak pernah membahas kejadian masa lalu itu.
Dua minggu kami hanya menjalin komunikasi melalui hanphone dan tidak pernah bertemu sekalipun selain pertemuan di rumah makan milikku saat itu. pembicaraan melalui telpon seluler itu hanya sekedar pembicaraan dan senda gurau biasa saja, tidak ada terjalin hubungan yang lebih spesial. Saya memberanikan diri untuk mengajak Arin bertemu karena ada yang ingin saya bicarakan empat mata dengannya, dia merespon dengan baik ajakan saya dan malam hari ialah waktu yang tepat untuk kami, karena di siang hari kami masing-masing sibuk bekerja.
Malam itu kami bertemu di sebuah taman kota, yang tidak jauh dari kantor Asuransi tempat Arin bekerja, bintang-bintang pada malam itu tampak takut untuk memperlihatkan dirinya, bulan juga enggan bersinar dan hawa dingin mulai menembus pori-pori kami. Arin seperti biasa dengan dandanan modisnya dan aku juga berlagak seperti orang kantoran menggunakan kemeja merah maron hanya saja tidak berdasi.
“Mau bicara apa tiba-tiba mengajaku ketemu di sini, kayak orang mau pacaran aja” ia membuka pembicaraan.
“Aku hanya mau minta maaf” ucapku tanpa basa-basi
“Untuk apa, kok tiba-tiba minta maaf”
“Kamu ingat saat kamu menungguku di bawah pohon mangga kedinginan karena diguyur hujan?”
“Sudahlah jangan dibahas lagi, itu cuma masa lalu kita”
“Ya memang masa lalu yang membuat diriku menjadi orang yang bodoh, begitu tega membiarkan gadis cantik yang rela kedinginan hanya untuk menungguku, tapi apa? Aku hanya bersikap tidak peduli padanya, mengusirnya pergi dan kembali kedinginan diguyur hujan” kalimat itu keluar begitu saja.
“Tapi kamu tidak mengusirku” Arin mencoba menenangkanku agar tidak terlalu menyalahkan diri.
“Kamu jangan membelaku, seharusnya kamu membenciku”
“jika itu maumu mengapa kamu meminta maaf padaku, aku juga tida kmau mengenang kejadian itu lagi”
Tidak tahu mengapa air mataku begitu mudah untuk menetes saat itu, begitu juga Arin ia ikut terbawa emosi yang mengingatkan kami mengenang masa lalu itu.
“Aku hanya butuh maaf dari mu” ucapku setelah suasana kembali tenang
“Tentu aku memafkanmu, jika tidak mengapa sekarang aku bersamamu disini.”
Ingin sekali aku memeluk Arin dan menghapus air matanya yang masih membekas di pipinya saat itu, tapi lagi-lagi aku merasa tidak pantas karena hubungan kami hanya sebatas teman, aku juga tidak mengerti mengapa rasa sayang ini muncul tiba-tiba setelah lima belas tahun kami tidak bertemu. Kami hanya duduk berdampingan dan terlihat kaku hingga suara gemuruh mulai terdengar di balik awan yang gelap di ikuti tetes demi tetes air hujan yang mulai menimpa kami, spontan ku genggam tangan Arin untuk mengajaknya mencari tempat berteduh, namun ia manahanku dan tidak beranjak dari kursi tempat kami duduk.
“Ayo Rin nanti kita kehujanan” aku mengajaknya berteduh
“Tidak Rian, sudah terlanjur kamu mengorek kembali kenangan itu, apa yang kamu sekarang kejadian itu terulang kembali seperti ini.
Mataku menatap dalam-dalam bola mata Arin yang dilapisi lensa biru itu, dan ia juga membalas tatapanku dengan lembut. Seketika dekapanku berlabuh di tubuhnya, aku tidak lagi memikirkan seberapa deras hujan menusuk tubuh kami, dekapanku semakin erat memeluk tubuh wanita yang sempat kuabaikan di masa lalu itu.
“Aku tak akan membiarkanmu kedinginan lagi Rin, tak akan pernah lagi”
“seandainya kamu melakukan ini dulu, aku mungkin tidak akan pernah meninggalkanmu”
“Maafkan aku Rin, Maaf… izinkan aku menebus kesalahanku sekarang?”
“Aku juga minta maaf Rian, karena tidak memberimu kesempatan untuk meminta maaf padaku, aku meninggalkanmu begitu saja”
“itu salahku, bukan salahmu, aku yang sangat keterlaluan saat itu”
“Sudahlah kita jangan saling menyalahkan, aku sangat senang bisa kembali bersamamu”
“Jujur betapa aku merindukanmu Rin, I love you”
Aku tidak melepaskan dekapanku pada Arin, aku tidak akan membiarkan ia kedinginan lagi, biar ragaku membeku, aku telah berjanji padanya dan juga diriku sendiri akan selalu menjaga dan melindunginya hingga bayanganku tidak terlihat lagi di dunia ini.
Read more ►

Sabtu, 09 Mei 2015

cara Bagus menabung

0 komentar
Hari ini Bu Lastri membagikan celengan terbuat dari tanah liat kepada semua siswa kelas VII. Bu Lastri menganjurkan kepada setiap siswa untuk menyisihkan sebagian uang sakunya untuk ditabung. Syaratnya uang yang ditabung adalah uang logam atau koin. Setelah penuh nanti akan dibuka bersama-sama.
Semua siswa bersemangat untuk menabung. Hasilnya nanti akan dipakai untuk piknik bersama ke Yogyakarta. Bagus tidak seperti teman yang lain. Dia tidak pernah mengisi celengannya. Bukan karena Bagus boros atau tidak hemat. Bagus tidak pernah diberi uang saku oleh ibunya. Bagus selalu membawa bekal makanan dari rumah. Ibu selalu menyiapkan nasi dan lauk ala kadarnya dalam wadah makanan, dan teh panas dalam botol.
Setiap pulang sekolah tidak pernah lupa Bagus memegang celengannya. Kemudian diletakkan begitu saja di atas meja belajar tanpa mengisi celengan itu. Pada saat itu ibu melihat Bagus sedang meletakkan celengannya. Ibu mendekati Bagus.
“Sudah diisi belum celengannya?” tanya ibu. Bagus menggeleng.
“Bagus ingin mengisi celengan itu?”
Bagus ragu, dia tidak ingin memaksa agar ibu memberinya uang lalu dimasukkan ke celengan. Bagi Bagus, menabung itu tidak harus uang. Seperti neneknya dulu, menabung emas. Setelah bertahun-tahun emas yang dimiliki nenek dijual, uangnya dapat digunakan naik haji.
Tetangga bapak, namanya Pak Narjo, memiliki tabungan berupa kambing. Setelah beberapa bulan kambingnya beranak pinak. Lain lagi Pak Warso, beliau memiliki anak sapi (pedhet). Setelah satu tahun, tak ada lagi pedhet, yang ada adalah sapi yang siap untuk dijual.
Beberapa waktu yang lalu Mas Budi, tetangganya yang masih duduk di kelas IX SMP dibelikan ibunya beberapa ekor anak ayam (kuthuk) di Pasar Jumat. Mas Budi bertugas memberi pakan setiap pagi, siang dan sore. Kata Mas Budi, ayam-ayam itu adalah tabungannya. Benar, setelah 5 bulan, ayam-ayam itu siap dijual dan uangnya dapat dipakai untuk membeli alat-alat tulis.
“Bagus tidak punya uang, Bu.”
“Ini ada uang seribu lima ratus rupiah. Masukkan ke dalam celengan.” kata ibu.
Bagus merasa senang sekali. Asyik… celenganku akhirnya terisi juga. Setiap hari ibu selalu memberi uang kepada Bagus sebesar seribu rupiah.
Suatu hari Bagus melihat bapak sedang memasukkan biji-biji padi (gabah) ke dalam karung, kemudian diangkat dan diletakkan di sebuah ruangan di dalam rumah. Selain gabah, ada biji jagung yang sudah tertata rapi berada dalam karung.
“Bapak, mengapa gabah dan biji jagungnya tidak dijual, melainkan disimpan?” tanya Bagus.
“Hasil panen itu disimpan, sebagai tabungan. Kalau semua dijual, nanti kita malah beli beras. Atau pas membutuhkan biji jagung untuk ditanam, malah harus beli. Kalau kita membutuhkan uang, barulah sebagian kita jual.”
“O… iya, ya.”
“Bagus, kamu masih ingat waktu kita menanam bengkoang?”
“Ya, pak.”
“Sebagian tanaman bengkoang dipanen pada umur 4 bulan untuk diambil buahnya, lalu dijual. Sebagian lagi tanaman dibiarkan sampai tua untuk diambil bijinya. Biji-biji bengkoang itu sekarang kita tanam lagi. Lebih banyak dan lebih bagus. Tiga bulan lagi kita akan panen bengkoang. Yang lainnya kita biarkan sampai berbiji tua. Dan seterusnya begitu.” Bagus mengangguk paham.
Bapak memberi contoh tabungan berupa biji yang lain, yaitu biji mentimun dan kacang panjang. Bagus mengerti sekarang. Menabung, itu tidak harus uang. Menabung dengan apa yang kita miliki. Bisa berupa ayam, kambing, bebek, sapi, emas, biji-bijian dan lain-lain.
Bagus yakin, kelak tabungannya dalam celengan juga akan penuh. Menabung sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Selain uang, Bagus juga menabung biji-bijian seperti Bapak.
Pagi ini Bu Lastri memberitahukan kepada anak-anak, bahwa celengan yang sudah penuh bisa dibawa ke sekolah untuk dibuka. Anak-anak bersuka cita. Mereka sejak awal berlomba-lomba untuk memenuhi celengannya. Mereka bangga apabila dapat mengumpulkan uang paling banyak.
Pagi ini Bagus juga membawa celengannya. Dia berharap uang yang terkumpul sudah banyak. Di sekolah anak-anak siap untuk membuka celengan. Bu Lastri tidak mengajarkan untuk memecahkan celengan, melainkan hanya cukup melubangi dasar celengan sekedar dapat untuk mengeluarkan uang receh itu.
Setelah beberapa teman Bagus membuka celengan, giliran Bagus membuka celengannya. Ternyata isinya hanya dua puluh ribu. Teman-teman Bagus yang tidak suka dengan Bagus terus mengejek Bagus. Tetapi Bagus tetap percaya diri.
“Bagus, kamu jarang mengisi tabunganmu, ya?” tanya Bu Lastri.
“Iya, Bu. Tapi saya punya tabungan yang lain.” Bagus menunjukkan biji-bijian yang sudah disiapkan dari rumah. Amir tambah tertawa. Hahaha.
“Ini tabungan saya, Bu.”
“Maksud kamu apa, Gus.”
“Saya menabung biji-biji ini, agar keluarga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kata Bapak tabungan saya berupa biji ini juga dapat dijual untuk membayar piknik ke Yogyakarta.”
Teman-teman Bagus melihat ke luar ruangan kelas. Di halaman sekolah datang Bapaknya Bagus membawa keranjang berisi timun. Timun-timun itu akan dibagikan kepada guru dan siswa yang mau.
Tabungan Bagus berupa biji mentimun, yang sudah ditanam dan berbuah, akhirnya dibawa ke sekolah. Hasilnya… semua memuji Bagus. Di rumah Bagus, tidak hanya mentimun yang berkarung-karung siap dijual, melainkan ada juga sayuran kacang panjang. Kacang panjang yang sudah diikat itu sudah ada pedagang yang mau menampung dan menjualkan. Oleh karena itu, walaupun celengan Bagus tidak penuh, Bagus tetap bangga. Tabungan sayurannya yang terjual dapat digunakan membayar piknik ke Yogyakarta.
(SELESAI)
Read more ►
 

Copyright © S-GITS11SILVER Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger