“Rian…!” teriakmu yang hampir
memecahkan gendang telingaku, hanya karena aku sering menggodamu. Kala itu kita
masih belum mengerti apa artinya cinta dan mengucapkan kata itu juga belum
pernah, karena umur kita saat itu masih sangat belia untuk memahaminya. Setiap
pagi kita selalu berangkat bersama-sama menuju sekolah dasar yang tidak terlalu
jauh dari rumahku, kamu selalu setia menungguku di depan rumah di bawah pohon
mangga yang tampak tak layak untuk hidup lagi. Setiap kali aku keluar dari
rumah kamu sudah berada di sana seorang diri dengan rambut berkepang dua
dihiasi poni di depannya dan duduk di sebuah kursi kayu yang tampak sedikit
rapuh sambil membaca buku dongeng kesukaanmu. Setiap kali ku tanya “apakah kamu
sudah lama menungguku?” kamu selalu menjawab “aku baru saja sampai”. Aku yakin
pada saat itu kamu pasti sudah lama menungguku hanya saja aku yang selalu membuatmu
terlalu lama kesepian menungguku, padahal aku sudah tau setiap hari kamu datang
dan rela menunggu kubangun tidur hanya untuk berangkat sekolah bersamaku.
Mungkin karena jarak rumahku dan
sekolah terlalu dekat hingga aku sengahja beralama-lama pergi ke sekolah,
biasanya jika kamu marah karena terlalu lama menunggu, aku akan kembali
menyalahkan yang dengan bodoh mau menungguku. kamu selalu diam jika aku sudah
berbicara seperti itu tanpa mengerti perasaanmu aku berbicara semaunya saja.
Kamu langkahkan kakimu dengan cepat sebagai tanda kamu kecewa padaku agar aku
mau minta maaf dan mengakui kesalahanku. Untuk kesekian kalinya pada waktu itu
aku melakukan kesalahan yang sama, disaat itu matahari enggan bersinar karena
tertutup awan gelap yang mengeluarkan tetes demi tetes air ke tanah. Aku tak
menyangka hari itu kamu masih setia menungguku di tempat yang sama namun kali
ini kamu tidak memegang buku melainkan sebuah payung berwarna merah muda dengan
motif bunga yang tidak ku kenal.
Seharusnya pada hari itu aku tahu
bahwa kamu pasti menungguku, karena kebiasaan itu setiap hari kamu lakukan
terkecuali pada saat libur. namun aku terlalu tidak mengerti kamu, tanpa
bersalah aku membiarkanmu menunggu dengan guyuran air hujan yang membuatmu
menggigil kedinginan sedangkan aku tidak juga keluar menemuimu karena berniat
bolos sekolah. Aku sangat bersyukur sekali karena pada saat itu ibuku berada di
rumah dan melihatmu tampak membeku kedinginan hanya berlindung dengan sebuah
payung di bawah pohon mangga. Kamu memang tidak mau memanggil ataupun mengetuk
pintu rumah kami jika kamu datang ke rumahku, hanya dibawah pohon mangga yang
menjadi tempat setiamu menghabiskan waktu jenuhmu, aku tidak tahu mengapa tidak
sekalipun kamu mau memangilku atau mengetuk pintu rumah kami.
Ku lihat kamu sudah duduk di sofa
dalam ruang tamu rumahku sambil memegang sebuah gelas bening yang berisi teh
panas buatan ibuku. Mataku masih tampak sipit karena dipaksa bangun oleh ibuku
untuk menemuimu, sedangkan ibuku tidak bisa menemanimu ngobrol karena harus
melanjutkan pekerjaan rumah tangganya.
“Arin… kenapa hujan-hujan kamu kesini” ucapku tiba-tiba seolah melarangnya ke rumahku
“setiap hari kan aku selalu datang kesini, hari ini kan sekolah, aku sampai bolos dan kehujanan gara-gara menunggumu” sahutnya dengan rasa kecewa
“itu kan salahmu, sudah tahu hujan masih saja menungguku, tak bisa apa satu hari saja kamu tidak menungguku” balasku. Entah apa yang terpikir olehku hingga pada saat itu aku bisa mengucapkan kalimat yang sangat menyakitkannya dan aku sangat yakin Arin pasti sangat kecewa dan ingin marah padaku, namun ia terpaksa menahannya karena takut ibuku akan mendengar pertengkaran kita. Lagi-lagi kamu hanya terdiam setelah mendengar perkataanku itu. kamu tidak mau memperpanjang masalah dan meneguk kembali the panas yang masih tersisa.
Belum sempat aku duduk menemanimu, kamu sudah beranjak bangkit dan dengan nada marah kamu pamit pulang.
“Baiklah kalau begitu aku mau pulang” ucapmu dengan rasa kecewa
“Apa! Jadi aku dibangunkan tidur hanya untuk mendengar ucapan pamitmu” sahutku merasa sangat marah.
“baiklah, aku tidak akan pernah lagi mengganggu tidurmu”
“Arin… kenapa hujan-hujan kamu kesini” ucapku tiba-tiba seolah melarangnya ke rumahku
“setiap hari kan aku selalu datang kesini, hari ini kan sekolah, aku sampai bolos dan kehujanan gara-gara menunggumu” sahutnya dengan rasa kecewa
“itu kan salahmu, sudah tahu hujan masih saja menungguku, tak bisa apa satu hari saja kamu tidak menungguku” balasku. Entah apa yang terpikir olehku hingga pada saat itu aku bisa mengucapkan kalimat yang sangat menyakitkannya dan aku sangat yakin Arin pasti sangat kecewa dan ingin marah padaku, namun ia terpaksa menahannya karena takut ibuku akan mendengar pertengkaran kita. Lagi-lagi kamu hanya terdiam setelah mendengar perkataanku itu. kamu tidak mau memperpanjang masalah dan meneguk kembali the panas yang masih tersisa.
Belum sempat aku duduk menemanimu, kamu sudah beranjak bangkit dan dengan nada marah kamu pamit pulang.
“Baiklah kalau begitu aku mau pulang” ucapmu dengan rasa kecewa
“Apa! Jadi aku dibangunkan tidur hanya untuk mendengar ucapan pamitmu” sahutku merasa sangat marah.
“baiklah, aku tidak akan pernah lagi mengganggu tidurmu”
Kamu begitu saja keluar rumah tanpa
berpamitan dengan ibuku, hujan yang belum juga reda mengiringi langkah kakimu
yang terlihat lemas dan dipenuhi rasa kecewa tapi pada saat itu aku masih belum
merasakan hal itu, tanpa ada rasa bersalah telah membiarkanmu menunggu dalam
guyuran hujan dan hanya sebuah payung yang melindungimu, aku kembali
membiarkanmu harus diterpa benda dingin itu tanpa ada usaha untuk melarang atau
mencegahmu meninggalkan rumahku. Entah emosi apa yang ada dalam diriku pada
saat itu yang sampai hati membiarkanmu harus mengarungi setapak-setapak
berlumpur sendirian akibat keangkuhanku. Mungkin karena aku terlalu belia untuk
memahami hatimu dan aku juga tidak tahu mengapa kamu saat itu bertindak
seoalah-olah seperti seorang remaja yang sedang kecewa karena cintanya ditolak
atau marah karena diabaikan.
Aku begitu yakin dengan diri sendiri
bahwa kamu tidak akan bisa marah dengan ku terlalu lama, cuma butuh satu hari
untuk membuatmu mau kembali berteman denganku dan aku yakin kamu tidak akan
bisa pergi ke sekolah jika tidak bersamaku. Keyakinan itu membuatku melupakan
bahwa dirimu adalah seorang perempuan dan manusia biasa yang pasti memiliki rasa
marah, kecewa bahkan juga rasa benci. Pagi itu tidak seperti pagi sebelumnya
yang dingin karena guyuran hujan, matahari sangat ceria, awan di langit juga
putih membetuk pola-pola abstrak yang begitu menawan.
Aku tidak berniat bolos sekolah lagi, terlalu bodoh jika aku menyia-nyiakan suasana pagi yang hangat itu, tanpa mengingat kejadian terakhir kali bersamamu aku keluar dari rumah berseragam rapi putih merah, aku ingin menemuimu di bawah pohon mangga tempat biasa kamu menungguku. Ada yang sedikit berbeda di pagi itu, saat aku keluar dan melihat ke arah pohon mangga tidak ada sosok gadis mungil yang biasanya setia menunggu di bawah pohon tua itu. Hal itu aneh bagiku karena sudah terbiasa setiap hari sekolah melihatmu nangkring di sana dan hari itu tampak sepi hanya daun dari pohon tua itu yang berserakan di tanah. Aku tidak sadar sama sekali hal apa yang menyebabkanmu tidak menungguku hari itu, dengan penuh pertanyaan aku ke sekolah karena kuyakin kamu pasti sudah berada disana.
Perkiraanku tepat sekali, kamu sudah berada di kelas dan duduk di bangku paling depan sedang asik bercanda dengan Rika dan Titin teman-teman perempuanmu. Hal itu kembali membuatku merasa aneh, karena biasanya kamu selalu duduk di bangku paling belakang bersamaku, ingin sekali aku menghampirimu namun lonceng masuk membuyarkan niatku. Selama belajar aku selalu mengawasimu hingga aku tidak memahami apa yang diajarakan oleh guru bahasa Indonesia saat itu, namun tidak satu kali pun kamu menoleh kearahku, kamu tampak begitu serius menerima pelajaran pagi itu. waktu terlalu lama berlalu ingin rasanya aku segera menemuimu dan berbicara empat mata denganmu karena kenapa hari itu kamu bertingkah aneh.
Aku tidak berniat bolos sekolah lagi, terlalu bodoh jika aku menyia-nyiakan suasana pagi yang hangat itu, tanpa mengingat kejadian terakhir kali bersamamu aku keluar dari rumah berseragam rapi putih merah, aku ingin menemuimu di bawah pohon mangga tempat biasa kamu menungguku. Ada yang sedikit berbeda di pagi itu, saat aku keluar dan melihat ke arah pohon mangga tidak ada sosok gadis mungil yang biasanya setia menunggu di bawah pohon tua itu. Hal itu aneh bagiku karena sudah terbiasa setiap hari sekolah melihatmu nangkring di sana dan hari itu tampak sepi hanya daun dari pohon tua itu yang berserakan di tanah. Aku tidak sadar sama sekali hal apa yang menyebabkanmu tidak menungguku hari itu, dengan penuh pertanyaan aku ke sekolah karena kuyakin kamu pasti sudah berada disana.
Perkiraanku tepat sekali, kamu sudah berada di kelas dan duduk di bangku paling depan sedang asik bercanda dengan Rika dan Titin teman-teman perempuanmu. Hal itu kembali membuatku merasa aneh, karena biasanya kamu selalu duduk di bangku paling belakang bersamaku, ingin sekali aku menghampirimu namun lonceng masuk membuyarkan niatku. Selama belajar aku selalu mengawasimu hingga aku tidak memahami apa yang diajarakan oleh guru bahasa Indonesia saat itu, namun tidak satu kali pun kamu menoleh kearahku, kamu tampak begitu serius menerima pelajaran pagi itu. waktu terlalu lama berlalu ingin rasanya aku segera menemuimu dan berbicara empat mata denganmu karena kenapa hari itu kamu bertingkah aneh.
Lonceng pulang sekolah sudah
berbunyi, tanpa membuang-buang waktu kukemaskan buku-buku dan peralatan
belajarku, ku lihat kamu juga seperti itu namun kamu masih tidak mau menatap ke
arahku. Aku segera menghampirimu ketika kamu sedang sibuk mengemaskan peralatan
tulismu teman-teman yang lain sudah keluar hanya kamu dan aku saat itu. Kamu
tetap terdiam saat melihatku tiba-tiba berada di dekatmu.
“Kenapa hari ini kamu tidak menungguku” ucapku tanpa rasa bersalah
“Untuk apa aku menunggumu”
“Tapi biasanya kamu menungguku” sahutku
“Aku tidak mau lagi menunggumu dan aku juga tidak akan melihatmu lagi”
Belum sempat aku meneruskan percakapan kamu sudah beranjak meninggalkanku begitu saja, kamu mengabaikan panggilanku saat aku menyuruhmu menungguku, kamu tampak begitu marah dan tidak pernah sebelumnya aku melihat kamu seperti itu. Kejadian itu sangat aneh hingga membuat aku mengingat-ingat kejadian apa yang sudah membuatmu bertingkah seperti itu, pada akhirnya aku sadar kejadian pagi saat hujan itulah yang menjadi penyebabnya. Rasa bersalah menghantui perasaanku saat itu dan ingin segera meminta maaf padamu, ingin rasanya ku putar jarum jam dinding yang ada di rumahku sehingga membuat hari itu berlalu cepat dan ingin segera kembali ke sekolah menemuimu.
“Kenapa hari ini kamu tidak menungguku” ucapku tanpa rasa bersalah
“Untuk apa aku menunggumu”
“Tapi biasanya kamu menungguku” sahutku
“Aku tidak mau lagi menunggumu dan aku juga tidak akan melihatmu lagi”
Belum sempat aku meneruskan percakapan kamu sudah beranjak meninggalkanku begitu saja, kamu mengabaikan panggilanku saat aku menyuruhmu menungguku, kamu tampak begitu marah dan tidak pernah sebelumnya aku melihat kamu seperti itu. Kejadian itu sangat aneh hingga membuat aku mengingat-ingat kejadian apa yang sudah membuatmu bertingkah seperti itu, pada akhirnya aku sadar kejadian pagi saat hujan itulah yang menjadi penyebabnya. Rasa bersalah menghantui perasaanku saat itu dan ingin segera meminta maaf padamu, ingin rasanya ku putar jarum jam dinding yang ada di rumahku sehingga membuat hari itu berlalu cepat dan ingin segera kembali ke sekolah menemuimu.
Pagi-pagi aku sudah terbangun dan
tidak seperti biasanya aku menjadi orang pertama yang datang ke sekolah, tidak
lama menunggu murid-murid yang lain berdatangan namun kamu tidak muncul-muncul
juga hingga loncong masuk berbunyi bahkan sampai lonceng pulang sekolah kamu
juga tidak berada di kelas. Hal itu berlangsung hampir satu minggu, begitu
sakit menahan permintaan maaf yang belum terucapkan, jarak rumahmu dan rumahku
yang begitu jauh membuatku hanya bisa berharap menunggumu ke sekolah,
seharusnya pada saat itu aku ke rumahmu seperti kebiasaan yang sering kamu
lakukan menungguku meskipun hanya saat sekolah.
Sudah sebulan berlalu, kamu juga
tidak pernah muncul ke sekolah lagi, apalagi mau menungguku di bawah pohon
mangga tua depan rumahku. Terdengar kabar bahwa kamu sudah pindah sekolah ke
sebuah kota yang sangat jauh dari desaku dan membuatku tidak mungkin bisa bertemu
lagi denganmu. Begitu sakit rasanya mendengar berita itu apalagi dari orang
lain, aku merasa kecewa dan marah karena kamu tidak pernah membicarakan hal itu
denganku sebelumnya, kamu sengahja menyiksaku dengan rasa bersalah dengan pergi
begitu saja meninggalkanku tanpa ada ucapan perpisahan dan membiarkanku
mengucapkan kata “maaf”. Kenyataan itu memang sempat membuat tersiksa, namun
itu tidak berlangsung lama karena karena waktu begitu cepat mengubah segalanya
mungkin hal itu hanya sebuah bagian dari sisi hidup masa kecil atau bahkan
sebuah coretan kecil dari sebuah pertemanan.
Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
aku tidak pernah lagi mendengar tentang dirimu, aku tumbuh dengan kehidupanku
sebagai peria dewasa dengan latar kehidupanku yang juga sudah berbeda. aku
tidak tahu bagaimana kehidupanmu, jarak yang telah memisahkan kita dan waktu
yang telah membuat buram ingatanku membuat aku tidak pernah lagi mengenangmu
bahkan untuk memikirkanmu saja waktu seoalah-olah tidak memberi kesempatan lagi
padaku. Lima belas tahun berlalu memang sudah mengubah fisik, sifat dan
ingatanku mungkin begitu juga denganmu. Aku telah disibukan dengan dunia
kerjaku sebagai wiraswasta dan aku juga sudah beberapa kali menjalin hubungan
kekasih dengan lawan jenisku hingga ingatan tentangmu di masa kecil tidak
sempat untuk menyelip dalam otakku.
Entah itu jodoh atau hanya sebuah
permainan waktu, tiba-tiba saja kita dipertemukan dalam kondisi yang tidak aku
inginkan. Kamu datang di sebuah rumah makan milikku dengan seorang pria yang tampak
mapan, berstelan kemeja biru muda dengan dasi bergantung di kerahnya. Sedangkan
kamu tumbuh menjadi gadis yang begitu cantik, tidak ada lagi kepang dua dan
poni menghiasi wajahmu, rambutmu terurai dan berwarna hitam berkilau
penampilanmu begitu stylist ditambah lensa biru yang menghiasi bola matamu
semakin membuatmu terkesan modis. Awalnya aku tidak mengenalmu hingga kamu
menyuruh pelayan memanggilku untuk mengkomplain makanan yang kamu pesan.
“Ada apa mbak” ucapku dengan sopan
“Begini pak” tiba-tiba ucapanmu berhenti dan kaget melihatku
“Iya mbak ada apa” sahutku yang masih belum juga mengenalmu
“Kamu Rian kan?”
“Iya benar, mbak siapa ya” balasku balik bertanya
“Ya Allah, aku Arin sahabat kamu waktu kecil” sahutnya dengan nada yang begitu senang.
Aku tersentak kaget dan tidak pernah sama sekali membayangkan bisa bertemu dengan dia lagi aku juga merasa kecewa dengan diriku sendiri mengapa harus dia yang terlebih dahulu mengenalku bukan aku, setidaknya jika aku yang mengenalnya atau menyapanya lebih dulu membuktikan rasa bersalahku yang pernah ku perbuat padanya. Pria yang berada di dekatnya ikut tersenyum melihat kami, ingin sekali rasanya aku memeluknya meskipun hal itu belum pernah aku lakukan sama sekali ketika kami kecil dulu, namun ku abaikan niatku itu karena takut menimbulkan tanggapan-tanggapan negatif dari orang lain terutama dari pria yang bersama Arin yang mungkin adalah kekasihnya.
“Oh iya, sampai lupa ini Radit teman kerjaku”
Kami pun bersalaman dan memperkenalkan diri, perkiraanku ternyata salah, orang yang aku kira kekasih Arin ternyata hanya temannya. Tidak tahu kenapa hatiku merasa senang sekali tapi pertemuan kami tidak berlangsung lama karena mereka harus kembali bekerja setelah jam istirahat siang berakhir. Kami saling bertukar no hanphone agar bisa menjalin komunikasi kembali. Hubunganku dan Arin terjalin kembali meskipun belum pernah sama sekali aku mengucapkan kata maaf padanya, karena waktu yang sudah begitu lama memisahkan kami hingga kata-kata itu terlupakan begitu saja. Arin juga tidak pernah membahas kejadian masa lalu itu.
“Ada apa mbak” ucapku dengan sopan
“Begini pak” tiba-tiba ucapanmu berhenti dan kaget melihatku
“Iya mbak ada apa” sahutku yang masih belum juga mengenalmu
“Kamu Rian kan?”
“Iya benar, mbak siapa ya” balasku balik bertanya
“Ya Allah, aku Arin sahabat kamu waktu kecil” sahutnya dengan nada yang begitu senang.
Aku tersentak kaget dan tidak pernah sama sekali membayangkan bisa bertemu dengan dia lagi aku juga merasa kecewa dengan diriku sendiri mengapa harus dia yang terlebih dahulu mengenalku bukan aku, setidaknya jika aku yang mengenalnya atau menyapanya lebih dulu membuktikan rasa bersalahku yang pernah ku perbuat padanya. Pria yang berada di dekatnya ikut tersenyum melihat kami, ingin sekali rasanya aku memeluknya meskipun hal itu belum pernah aku lakukan sama sekali ketika kami kecil dulu, namun ku abaikan niatku itu karena takut menimbulkan tanggapan-tanggapan negatif dari orang lain terutama dari pria yang bersama Arin yang mungkin adalah kekasihnya.
“Oh iya, sampai lupa ini Radit teman kerjaku”
Kami pun bersalaman dan memperkenalkan diri, perkiraanku ternyata salah, orang yang aku kira kekasih Arin ternyata hanya temannya. Tidak tahu kenapa hatiku merasa senang sekali tapi pertemuan kami tidak berlangsung lama karena mereka harus kembali bekerja setelah jam istirahat siang berakhir. Kami saling bertukar no hanphone agar bisa menjalin komunikasi kembali. Hubunganku dan Arin terjalin kembali meskipun belum pernah sama sekali aku mengucapkan kata maaf padanya, karena waktu yang sudah begitu lama memisahkan kami hingga kata-kata itu terlupakan begitu saja. Arin juga tidak pernah membahas kejadian masa lalu itu.
Dua minggu kami hanya menjalin
komunikasi melalui hanphone dan tidak pernah bertemu sekalipun selain pertemuan
di rumah makan milikku saat itu. pembicaraan melalui telpon seluler itu hanya
sekedar pembicaraan dan senda gurau biasa saja, tidak ada terjalin hubungan
yang lebih spesial. Saya memberanikan diri untuk mengajak Arin bertemu karena
ada yang ingin saya bicarakan empat mata dengannya, dia merespon dengan baik
ajakan saya dan malam hari ialah waktu yang tepat untuk kami, karena di siang
hari kami masing-masing sibuk bekerja.
Malam itu kami bertemu di sebuah
taman kota, yang tidak jauh dari kantor Asuransi tempat Arin bekerja,
bintang-bintang pada malam itu tampak takut untuk memperlihatkan dirinya, bulan
juga enggan bersinar dan hawa dingin mulai menembus pori-pori kami. Arin
seperti biasa dengan dandanan modisnya dan aku juga berlagak seperti orang
kantoran menggunakan kemeja merah maron hanya saja tidak berdasi.
“Mau bicara apa tiba-tiba mengajaku ketemu di sini, kayak orang mau pacaran aja” ia membuka pembicaraan.
“Aku hanya mau minta maaf” ucapku tanpa basa-basi
“Untuk apa, kok tiba-tiba minta maaf”
“Kamu ingat saat kamu menungguku di bawah pohon mangga kedinginan karena diguyur hujan?”
“Sudahlah jangan dibahas lagi, itu cuma masa lalu kita”
“Ya memang masa lalu yang membuat diriku menjadi orang yang bodoh, begitu tega membiarkan gadis cantik yang rela kedinginan hanya untuk menungguku, tapi apa? Aku hanya bersikap tidak peduli padanya, mengusirnya pergi dan kembali kedinginan diguyur hujan” kalimat itu keluar begitu saja.
“Tapi kamu tidak mengusirku” Arin mencoba menenangkanku agar tidak terlalu menyalahkan diri.
“Kamu jangan membelaku, seharusnya kamu membenciku”
“jika itu maumu mengapa kamu meminta maaf padaku, aku juga tida kmau mengenang kejadian itu lagi”
Tidak tahu mengapa air mataku begitu mudah untuk menetes saat itu, begitu juga Arin ia ikut terbawa emosi yang mengingatkan kami mengenang masa lalu itu.
“Aku hanya butuh maaf dari mu” ucapku setelah suasana kembali tenang
“Tentu aku memafkanmu, jika tidak mengapa sekarang aku bersamamu disini.”
Ingin sekali aku memeluk Arin dan menghapus air matanya yang masih membekas di pipinya saat itu, tapi lagi-lagi aku merasa tidak pantas karena hubungan kami hanya sebatas teman, aku juga tidak mengerti mengapa rasa sayang ini muncul tiba-tiba setelah lima belas tahun kami tidak bertemu. Kami hanya duduk berdampingan dan terlihat kaku hingga suara gemuruh mulai terdengar di balik awan yang gelap di ikuti tetes demi tetes air hujan yang mulai menimpa kami, spontan ku genggam tangan Arin untuk mengajaknya mencari tempat berteduh, namun ia manahanku dan tidak beranjak dari kursi tempat kami duduk.
“Ayo Rin nanti kita kehujanan” aku mengajaknya berteduh
“Tidak Rian, sudah terlanjur kamu mengorek kembali kenangan itu, apa yang kamu sekarang kejadian itu terulang kembali seperti ini.
Mataku menatap dalam-dalam bola mata Arin yang dilapisi lensa biru itu, dan ia juga membalas tatapanku dengan lembut. Seketika dekapanku berlabuh di tubuhnya, aku tidak lagi memikirkan seberapa deras hujan menusuk tubuh kami, dekapanku semakin erat memeluk tubuh wanita yang sempat kuabaikan di masa lalu itu.
“Aku tak akan membiarkanmu kedinginan lagi Rin, tak akan pernah lagi”
“seandainya kamu melakukan ini dulu, aku mungkin tidak akan pernah meninggalkanmu”
“Maafkan aku Rin, Maaf… izinkan aku menebus kesalahanku sekarang?”
“Aku juga minta maaf Rian, karena tidak memberimu kesempatan untuk meminta maaf padaku, aku meninggalkanmu begitu saja”
“itu salahku, bukan salahmu, aku yang sangat keterlaluan saat itu”
“Sudahlah kita jangan saling menyalahkan, aku sangat senang bisa kembali bersamamu”
“Jujur betapa aku merindukanmu Rin, I love you”
Aku tidak melepaskan dekapanku pada Arin, aku tidak akan membiarkan ia kedinginan lagi, biar ragaku membeku, aku telah berjanji padanya dan juga diriku sendiri akan selalu menjaga dan melindunginya hingga bayanganku tidak terlihat lagi di dunia ini.
“Mau bicara apa tiba-tiba mengajaku ketemu di sini, kayak orang mau pacaran aja” ia membuka pembicaraan.
“Aku hanya mau minta maaf” ucapku tanpa basa-basi
“Untuk apa, kok tiba-tiba minta maaf”
“Kamu ingat saat kamu menungguku di bawah pohon mangga kedinginan karena diguyur hujan?”
“Sudahlah jangan dibahas lagi, itu cuma masa lalu kita”
“Ya memang masa lalu yang membuat diriku menjadi orang yang bodoh, begitu tega membiarkan gadis cantik yang rela kedinginan hanya untuk menungguku, tapi apa? Aku hanya bersikap tidak peduli padanya, mengusirnya pergi dan kembali kedinginan diguyur hujan” kalimat itu keluar begitu saja.
“Tapi kamu tidak mengusirku” Arin mencoba menenangkanku agar tidak terlalu menyalahkan diri.
“Kamu jangan membelaku, seharusnya kamu membenciku”
“jika itu maumu mengapa kamu meminta maaf padaku, aku juga tida kmau mengenang kejadian itu lagi”
Tidak tahu mengapa air mataku begitu mudah untuk menetes saat itu, begitu juga Arin ia ikut terbawa emosi yang mengingatkan kami mengenang masa lalu itu.
“Aku hanya butuh maaf dari mu” ucapku setelah suasana kembali tenang
“Tentu aku memafkanmu, jika tidak mengapa sekarang aku bersamamu disini.”
Ingin sekali aku memeluk Arin dan menghapus air matanya yang masih membekas di pipinya saat itu, tapi lagi-lagi aku merasa tidak pantas karena hubungan kami hanya sebatas teman, aku juga tidak mengerti mengapa rasa sayang ini muncul tiba-tiba setelah lima belas tahun kami tidak bertemu. Kami hanya duduk berdampingan dan terlihat kaku hingga suara gemuruh mulai terdengar di balik awan yang gelap di ikuti tetes demi tetes air hujan yang mulai menimpa kami, spontan ku genggam tangan Arin untuk mengajaknya mencari tempat berteduh, namun ia manahanku dan tidak beranjak dari kursi tempat kami duduk.
“Ayo Rin nanti kita kehujanan” aku mengajaknya berteduh
“Tidak Rian, sudah terlanjur kamu mengorek kembali kenangan itu, apa yang kamu sekarang kejadian itu terulang kembali seperti ini.
Mataku menatap dalam-dalam bola mata Arin yang dilapisi lensa biru itu, dan ia juga membalas tatapanku dengan lembut. Seketika dekapanku berlabuh di tubuhnya, aku tidak lagi memikirkan seberapa deras hujan menusuk tubuh kami, dekapanku semakin erat memeluk tubuh wanita yang sempat kuabaikan di masa lalu itu.
“Aku tak akan membiarkanmu kedinginan lagi Rin, tak akan pernah lagi”
“seandainya kamu melakukan ini dulu, aku mungkin tidak akan pernah meninggalkanmu”
“Maafkan aku Rin, Maaf… izinkan aku menebus kesalahanku sekarang?”
“Aku juga minta maaf Rian, karena tidak memberimu kesempatan untuk meminta maaf padaku, aku meninggalkanmu begitu saja”
“itu salahku, bukan salahmu, aku yang sangat keterlaluan saat itu”
“Sudahlah kita jangan saling menyalahkan, aku sangat senang bisa kembali bersamamu”
“Jujur betapa aku merindukanmu Rin, I love you”
Aku tidak melepaskan dekapanku pada Arin, aku tidak akan membiarkan ia kedinginan lagi, biar ragaku membeku, aku telah berjanji padanya dan juga diriku sendiri akan selalu menjaga dan melindunginya hingga bayanganku tidak terlihat lagi di dunia ini.
0 komentar:
Posting Komentar