Hawa
panas Bangkalan langsung menyambut kulit kita saat memasuki kota
kabupaten paling ujung barat pulau Madura itu di siang hari, tapi terik
matahari menjadi teduh saat kita melihat bahwa kota ini terasa begitu
tradisional, bukan karena bangunannya tapi karena banyaknya anak-anak
muda yang memakai sarung dan kopyah berlalu lalang di kota berlabel
santri itu.Ya, para santri itu
adalah santri para kyai keturunan Syeikhona Kholil Bangkalan yang
terkenal itu, setidaknya di Bangkalan, ada sekitar sepuluh pesantren
milik keturunan syeikh agung tersebut. Mereka biasa disebut sebagai Bani
Kholil.
Untuk mencapai pesarean Syeikhona Kholil, dari arah kota Bangkalan,
kita harus terus menuju ke arah barat sekitar 700 meter untuk bisa
sampai di peristitahatan terakhir guru agama para founding father negeri
ini. tanda bahwa kita akan memasuki pesarean adalah saat kita melintasi
gapura bertuliskan “Anda Memasuki Desa Mertajesah”, karena pesarean
KHM. Kolil Bangkalan memang terletak di desa tersebut.Syeikhona Kholil sendiri hidup pada 1835 M – 1925 M, beliau adalah ulama’ keturunan ketujuh dari Sunan Gunung Jati Cirebon, (tapi jika merujuk dari buyutnya yang bernama Sunan Cendana, beliau adalah keturunan Sunan Ampel. Atau bisa jadi ia memang adalah keturunan kedua sunan tersebut) beliau dikenal sebagai guru agama banyak tokoh di Indonesia. Bahkan kabarnya Ir. Soekarno sendiri pernah mondok di Syeikhona Kholil sebelum nyantri ke HOS. Tjokro Aminoto yang juga pernah nyantri pada KH. Kholil.
Beliau menjadi tokoh di balik berdirinya NU di Indonesia, lewat petunjuknyalah KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Hijaz dalam misi mempertahankan tradisi Islam tradisional yang dianggap benar dan mempertahankan makam Nabi Muhammad agar tidak digusur oleh orang Wahabi. Begitu juga saat Hasyim Asy’ari hendak mendirikan NU sebagai kelanjutan Komite Hijaz yang ia gagas, ia juga masih meminta restu Mbah Kholil (orang Bangkalan biasa menyebutnya).
Sedikit yang unik, pada nisan sang Syekh terkesan besar dan terus bertambah besar, di nisannya melekat kain kafan yang diikatkan pada nisan, karena walau sejak 1980-an tidak lagi dipasangi kain kafan, tapi banyak para pengunjung yang mempunyai nadzar kemudian harus diiyakan oleh pengurus makam. Akan tetapi saat ini bentuk nisan dikembalikan lagi menjadi lebih ramping. Setiap harinya, peziarah bisa mencapai 60 bis pariwisata. Jangan heran pula jika yang datang pun ternyata bukan hanya umat Islam Indonesia tapi juga dari Kuala Lumpur, Brunai, Beijing, dan Australia. Setidaknya begitulah menurut pengakuan penjaga pesarean.
Selesai dari pesarean, kita bisa mampir sejenak di toko oleh-oleh khas Madura, ada asesoris-asesoris khas Madura yang dijual di tempat ini. Jadi jika Anda kebetulan berada di Bangkalan, tidak ada salahnya bukan jika Anda mengunjungi makam orang yang paling dihormati di Madura ini.
0 komentar:
Posting Komentar