Tengah tersandar dari lelah yang menguras semua tenaganya, juga
tetesan peluh rela ia buang, bersama hari-hari yang dipenuhi sandaran
doa di setiap langkahnya.. Begitulah ratapan hidup seorang lelaki tua
ini, setelah almarhum istrinya meninggalkan dia 5 tahun silam, dengan
ikhlas dijalaninya, tiga orang anaknya sudah berkeluarga, namun malang,
entah bagaimana dulu ia mendidik anaknya, serasa ia hanya sendiri dan
hanya bisa mengusap perlahan wajah tuanya yang sudah penuh dengan
garis-garis sisa kewibawaannya dulu.
Pak ipin, itulah nama lelaki tua itu kerap disapa, suatu pagi, dengan
langkah tuanya ia tergopoh menuju halaman belakang rumahnya, yang hanya
berukuran 1 kali 3 meter saja, menoleh kiri dan kanan, ia tersenyum
setelah melihat tiga biji cabai berwarna merah yang ia tanam sendiri
telah masak, hanya itu yang ia andalkan pagi ini untuk sarapan, yah
hanya nasi dan sambal.. sungguh memprihatinkan…
Suatu hari ia bertandang ke rumah sang anak sulungnya yang berjarak
tak jauh dari rumahnya, hanya berjarak 3 rumah dari tetangga, dengan
harap ia berjalan..
“Assalamualaikum” Tak juga terdengar sahutan dari si pemilik rumah,
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam kakek” dengan berlari kecil bocah lelaki itu menyambut
lelaki tua itu dan menciumi tangannya, hanya karena cucunya itu, ia
masih bertahan dan tak mau mempermasalahkan perlakuan anak sulungnya
terhadapnya, dengan selalu bersabar atas perlakuan sang anak yang tak
seharusnya diterima seorang ayah…
Suatu hari, pak ipin seusainya shalat zuhur, ia tengah berbaring di
atas dipan yang baginya sudah sangat menyakiti tubuhnya, bagaimana
tidak, dipan bambu yang hanya beralaskan selembar karpet bekas, itu pun
pemberian tetangganya yang merasa iba dengan kondisinya, tak jarang pula
tetangga-tetangganya menyedekahinya sepiring nasi, yang selalu
diterimanya dengan penuh syukur.
Samar-samar dari dalam didengarnya gerutuan seorang lelaki, yang tak lain dialah anaknya,
“Bapak, pak”, ujarnya dengan lantang tanpa mau menoleh, seketika itu juga tertatih ia keluar dari rumahnya
“Pak, bagaimana sih, rumput liar di kebun belakang rumah belum juga diselesaikan, keburu tumbuh lagi pak” ujarnya geram
“tunggu beberapa jam saja nak, bapak kelelahan juga tadi belum sempat untuk shalat”
Dengan wajah masam, “nanti sore sudah harus rapi pak…” kelakarnya sambil berlalu tanpa melihat lagi wajah lelaki tua itu.
Begitulah setiap hari, ada saja omelan yang ia dengar dari ketiga
anaknya… Meskipun demikian, lelaki tua itu tidak pernah merasa sakit
hati, ataupun marah dengan perlakuan anak-anaknya.
Malam mulai menggelayut di gubuk tua itu, hanya setitik cahaya lampu
minyak, itu saja sudah cukup baginya, sungguh seorang ayah yang malang,
Fikirannya jauh melayang ke masa lalu, dimana dulu semasa almarhum
istrinya masih berada bersamanya, ketiga anaknya juga masih begitu polos
dan lucu, hanya senyum yang tampak di wajah tuanya, ketika kenangan itu
mampir dalam memorynya.
Minggu pagi seperti ini, pak ipin hanya bisa terduduk memandang titik
demi titik curah air depan rumahnya, dia tak dapat bekerja seperti
biasa di rumah ketiga anaknya, hujan mulai turun dari tadi subuh seolah
menyuruhnya untuk sejenak beristirahat, tapi baginya tak bekerja sama
saja dengan tak makan, bagaimana tidak, dari ketiga anaknya dia hanya
mendapat upah sepiring nasi, lauk dan sayur terkadang ia dapatkan.
Di tengah ia melamun di berdoa dalam hatinya,
“ya Allah, begitu sempurna hidup yang engkau berikan padaku, umur yang
panjang juga kesehatan engkau berikan, 70 tahun bukan waktu yang
sedikit, begitu juga dengan ketiga putraku, hh.. ya Allah panjangkan
umur mereka, jauhkan dari kemelaratan hati juga harta, jaga mereka
selalu” demikian doanya di pagi itu, meski pak ipin tau perlakuan
anaknya tak pantas ia terima, selalu dimaafkannya anaknya
Dunia memang tak bisa menegur, waktu juga terkadang lupa untuk
mengingatkan seseorang, hingga suatu hari, asmul anak sulungnya, yang
tak pernah menaruh rasa hormat pada seorang ayah, juga selalu berkata
kasar dengan ayahnya itu mendapat musibah, yah, akhirnya Tuhanlah yang
bertindak, Asmul ketika akan berangkat ke mataram untuk suatu keperluan
terjatuh dari sepeda motornya, kakinya patah, sehingga beramai-ramai
orang membopongnya pulang,
Banyak juga tetangganya mencibir “pasti itu si Asmul kualat sama bapaknya”,
“iya, masa bapak diperlakukan seperti babu”, dan banyak lagi cibiran
dari tetangganya yang sering melihat perlakuan tidak senonohnya itu.
Dengan langkah agak cepat, pak ipin berjalan menuju rumah anaknya,
kalau bisa ia ingin berlari saja, tapi apa daya, usianya sudah
menghalangi keinginannya.
Sesampainya di depan pintu, Asmul yang baru saja melihat ayahnya
mendekat, langsung berteriak kencang membuat orang sejenak terdiam
dengan ulahnya itu “berhentiii, bapak tidak usah mendekatiku apalagi
melihat keadaanku sekarang, bapak kan yang sudah mendoakan aku sampai
terjadi seperti ini, bapak senang kan, hahhh…” istri Asmul hanya diam,
tentu saja dengan muka masam, pak ipin sangat malu juga sedih mendengar
apa yang baru saja ia dengar dari anaknya, betapa tidak, hatinya bagai
tersambar petir di siang bolong.
3 bulan kemudian, ramai orang berkerumun di rumah Asmin anak keduanya
menderita sakit parah dan tengah sekarat. Asmin selalu memanggil
manggil almarhum ibunya, sekiranya itu pak ipin bukan alang kepalang
pusingnya, tak ada yang bisa ia perbuat, tak ada sepeser pun uang untuk
diberikannya pada Asmin,
Seperti biasa disempatkannya untuk menengok Asmin, dan juga ketiga anaknya tengah berkumpul, hanya kebisuan yang ada..
“Ba pakk”, terdengar parau suara Admin memanggil lelaki tua itu, paak, Asmin minta maaf,
“iya min bapak tidak pernah menganggap kamu salah”,
“pak, pak”
“iya Min”
Lailaahaillallah, istigfar min, lelaki tua itu menuntun anaknya untuk mengingat allah,
samar-samar terdengar suara tangis, Asmin telah meninggal dunia,
meninggalkan istri dan kedua putrinya, tentu saja pak ipin lebih merasa
sedih, karena sepanjang hidup anaknya selalu memusuhuinya, dengan lapang
dada, pak ipin memaafkan segala kekhilafan anaknya, juga memohonkan
ampunan kepada yang maha kuasa, karena kasih seorang ayah sepanjang
hayat
Selesai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar