Hari ini Bu Lastri membagikan celengan terbuat dari tanah liat kepada
semua siswa kelas VII. Bu Lastri menganjurkan kepada setiap siswa untuk
menyisihkan sebagian uang sakunya untuk ditabung. Syaratnya uang yang
ditabung adalah uang logam atau koin. Setelah penuh nanti akan dibuka
bersama-sama.
Semua siswa bersemangat untuk menabung. Hasilnya nanti akan dipakai
untuk piknik bersama ke Yogyakarta. Bagus tidak seperti teman yang lain.
Dia tidak pernah mengisi celengannya. Bukan karena Bagus boros atau
tidak hemat. Bagus tidak pernah diberi uang saku oleh ibunya. Bagus
selalu membawa bekal makanan dari rumah. Ibu selalu menyiapkan nasi dan
lauk ala kadarnya dalam wadah makanan, dan teh panas dalam botol.
Setiap pulang sekolah tidak pernah lupa Bagus memegang celengannya.
Kemudian diletakkan begitu saja di atas meja belajar tanpa mengisi
celengan itu. Pada saat itu ibu melihat Bagus sedang meletakkan
celengannya. Ibu mendekati Bagus.
“Sudah diisi belum celengannya?” tanya ibu. Bagus menggeleng.
“Bagus ingin mengisi celengan itu?”
Bagus ragu, dia tidak ingin memaksa agar ibu memberinya uang lalu
dimasukkan ke celengan. Bagi Bagus, menabung itu tidak harus uang.
Seperti neneknya dulu, menabung emas. Setelah bertahun-tahun emas yang
dimiliki nenek dijual, uangnya dapat digunakan naik haji.
Tetangga bapak, namanya Pak Narjo, memiliki tabungan berupa kambing.
Setelah beberapa bulan kambingnya beranak pinak. Lain lagi Pak Warso,
beliau memiliki anak sapi (pedhet). Setelah satu tahun, tak ada lagi
pedhet, yang ada adalah sapi yang siap untuk dijual.
Beberapa waktu yang lalu Mas Budi, tetangganya yang masih duduk di kelas IX SMP
dibelikan ibunya beberapa ekor anak ayam (kuthuk) di Pasar Jumat. Mas
Budi bertugas memberi pakan setiap pagi, siang dan sore. Kata Mas Budi,
ayam-ayam itu adalah tabungannya. Benar, setelah 5 bulan, ayam-ayam itu
siap dijual dan uangnya dapat dipakai untuk membeli alat-alat tulis.
“Bagus tidak punya uang, Bu.”
“Ini ada uang seribu lima ratus rupiah. Masukkan ke dalam celengan.” kata ibu.
Bagus merasa senang sekali. Asyik… celenganku akhirnya terisi juga.
Setiap hari ibu selalu memberi uang kepada Bagus sebesar seribu rupiah.
Suatu hari Bagus melihat bapak sedang memasukkan biji-biji padi
(gabah) ke dalam karung, kemudian diangkat dan diletakkan di sebuah
ruangan di dalam rumah. Selain gabah, ada biji jagung yang sudah tertata
rapi berada dalam karung.
“Bapak, mengapa gabah dan biji jagungnya tidak dijual, melainkan disimpan?” tanya Bagus.
“Hasil panen itu disimpan, sebagai tabungan. Kalau semua dijual, nanti
kita malah beli beras. Atau pas membutuhkan biji jagung untuk ditanam,
malah harus beli. Kalau kita membutuhkan uang, barulah sebagian kita
jual.”
“O… iya, ya.”
“Bagus, kamu masih ingat waktu kita menanam bengkoang?”
“Ya, pak.”
“Sebagian tanaman bengkoang dipanen pada umur 4 bulan untuk diambil
buahnya, lalu dijual. Sebagian lagi tanaman dibiarkan sampai tua untuk
diambil bijinya. Biji-biji bengkoang itu sekarang kita tanam lagi. Lebih
banyak dan lebih bagus. Tiga bulan lagi kita akan panen bengkoang. Yang
lainnya kita biarkan sampai berbiji tua. Dan seterusnya begitu.” Bagus
mengangguk paham.
Bapak memberi contoh tabungan berupa biji yang lain, yaitu biji
mentimun dan kacang panjang. Bagus mengerti sekarang. Menabung, itu
tidak harus uang. Menabung dengan apa yang kita miliki. Bisa berupa
ayam, kambing, bebek, sapi, emas, biji-bijian dan lain-lain.
Bagus yakin, kelak tabungannya dalam celengan juga akan penuh.
Menabung sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Selain uang,
Bagus juga menabung biji-bijian seperti Bapak.
Pagi ini Bu Lastri memberitahukan kepada anak-anak, bahwa celengan
yang sudah penuh bisa dibawa ke sekolah untuk dibuka. Anak-anak bersuka
cita. Mereka sejak awal berlomba-lomba untuk memenuhi celengannya.
Mereka bangga apabila dapat mengumpulkan uang paling banyak.
Pagi ini Bagus juga membawa celengannya. Dia berharap uang yang
terkumpul sudah banyak. Di sekolah anak-anak siap untuk membuka
celengan. Bu Lastri tidak mengajarkan untuk memecahkan celengan,
melainkan hanya cukup melubangi dasar celengan sekedar dapat untuk
mengeluarkan uang receh itu.
Setelah beberapa teman Bagus membuka celengan, giliran Bagus membuka
celengannya. Ternyata isinya hanya dua puluh ribu. Teman-teman Bagus
yang tidak suka dengan Bagus terus mengejek Bagus. Tetapi Bagus tetap
percaya diri.
“Bagus, kamu jarang mengisi tabunganmu, ya?” tanya Bu Lastri.
“Iya, Bu. Tapi saya punya tabungan yang lain.” Bagus menunjukkan
biji-bijian yang sudah disiapkan dari rumah. Amir tambah tertawa.
Hahaha.
“Ini tabungan saya, Bu.”
“Maksud kamu apa, Gus.”
“Saya menabung biji-biji ini, agar keluarga dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Kata Bapak tabungan saya berupa biji ini juga dapat dijual
untuk membayar piknik ke Yogyakarta.”
Teman-teman Bagus melihat ke luar ruangan kelas. Di halaman sekolah
datang Bapaknya Bagus membawa keranjang berisi timun. Timun-timun itu
akan dibagikan kepada guru dan siswa yang mau.
Tabungan Bagus berupa biji mentimun, yang sudah ditanam dan berbuah,
akhirnya dibawa ke sekolah. Hasilnya… semua memuji Bagus. Di rumah
Bagus, tidak hanya mentimun yang berkarung-karung siap dijual, melainkan
ada juga sayuran kacang panjang. Kacang panjang yang sudah diikat itu
sudah ada pedagang yang mau menampung dan menjualkan. Oleh karena itu,
walaupun celengan Bagus tidak penuh, Bagus tetap bangga. Tabungan
sayurannya yang terjual dapat digunakan membayar piknik ke Yogyakarta.
(SELESAI)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar