“Bu, aku mau main.” Pepno melempar tasnya ke kamar dan segera keluar.
“Eh, makan dulu.” Ingat ibunya.
“Aku nggak laper.” Balas Pepno sembari berlari keluar.
Sejak sebuah warnet dibuka di perumahan tempat tinggal Pepno, ia
kerap mendatanginya untuk main game online. Sebenarnya di rumah Pepno
sudah ada internetnya dan bahkan lebih cepat. Tapi kata Pepno internet
di rumahnya tidak kuat untuk main game online.
Seharusnya di usianya yang kelas Sembilan, ia harus fofus ke UN.
Bukannya kerajingan game online. Dulu saat SD kelas enam ia sering main
playstation di dekat rumahnya. Orangtuanya sudah mengingatkannya untuk
tidak main tapi tidak ia pedulikan. Beruntungnya umur playstation itu
tidak lama. Dua bulan sebelum UN Pepno, playstation itu gulung tikar.
Entah apa penyebabnya.
Kini ia kena virus game online. Kadang sampai lupa belajar dan
menghabiskan uang sakunya. Virus game online sebenarnya juga mengenai
Lilan, adik perempuannya. Lilan juga sering main game online di rumah.
Namun ia masih sadar dan masih belajar untuk UN SD nya. Ia membatasi
dirinya sendiri dengan tidak main game jika sudah maghrib kecuali saat
hari Sabtu.
“Pepno, kamu sadar kan. Kamu sudah kelas Sembilan. Mbok ya dikurangi main gamenya.” Nasehat ibunya setelah Pepno pulang.
“Nanti aku belajar kok, Bu.” Elak Pepno.
“Iya, ibu tau. Kamu memang pandai, menurun dari ayahmu. Ndak belajar pun
kamu bisa dapat nilai baik. Tapi kan boros, Nak. Uang sakumu selalu
habis di hari Rabu.” Terang ibunya panjang.
Pepno terdiam mendengar nasehat ibunya. Ia berlalu meninggalkan ibunya
tanpa sepatah kata. Ia menuju kamar dan membaca sekilas buku catatan
biologinya. Besok ada ulangan biologi. Tapi Pepno tidak belajar dengan
sungguh-sungguh, seperti biasanya. Hanya membaca sekedarnya.
“Dapet berapa, Pep?” Tanya Ferdi teman sekelas Pepno seusai ulangan.
“Delapan setengah.” Balas Pepno cuek.
“Heran aku, kok kamu bisa dapat nilai baik padahal nggak belajar?” Pepno
hanya mengangkat bahunya mendengar perkataan temannya itu.
Sepulang sekolah seperti biasa, Pepno langsung menuju warnet. Ia
asyik tenggelam dalam gamenya. Saat pulang, ia berpapasan dengan ayahnya
yang baru pulang mengajar.
“Darimana, Pep?” Tanya ayah di depan pagar rumah.
“Warnet.” Jawab Pepno singkat.
“Tuh, kan. Warnet lagi warnet lagi. Ayah harusnya prihatin dengan anak kita ini.” Sahut ibu dari teras.
“Biarkan saja, Bu.” Ayah mengedipkan sebelah matanya. Sepertinya beliau memiliki rencana sendiri.
Senin pagi, ayah membuat pengumuman yang mengejutkan.
“Pepno, Lilan. Mulai minggu ini uang saku kalian ayah tambahi duapuluh
lima persen.” Sontak Pepno dan Lilan terkejut. Raut wajah gembira
terlihat jelas.
“Serius?” ibu shock mendengarnya. Pasalnya, Pepno akan semakin sering ke warnet kalo begini jadinya.
“Iya, ayah sudah pikirkan ini dengan matang.” Ayah kembali meyakinkan.
Ibu masih tidak terima dengan keputusan ayah. Tapi ayah cuek saja dengan
ekspresi ibu yang protes berat.
Setelah mendapat kenaikan uang saku, Pepno semakin lama berada di
warnet. Bahkan Try Out pertama yang sebentar lagi tidak mempengaruhinya.
“Sebentar lagi Try Out nih.” Sindir ibu.
“Try Out nggak usah belajar. Main game aja sana.” Sahut ayah yang sedang membaca Koran. Pepno yang mendengarnya tersenyum tipis.
Benar saja, malam sebelum Try Out Pepno tidak belajar. Ia asyik
browsingan di rumah. Tak lupa sore sebelumnya ia sudah menghabiskan sisa
uang sakunya di warnet. Esoknya, saat di sekolah. Bukannya diskusi soal
pelajaran Bahasa Indonesia, Pepno dan Ferdi malah membahas game yang
mereka mainkan selama di warnet.
“Aku sudah level 20.” Ujar Pepno bersemangat.
“Aku level 22.” Balas Ferdi tak kalah semangat.
“Senjatamu udah komplit?”
“Belum, masih kurang sekitar sepuluh.”
“Apa nggak beli cash?”
“Nggak, lagi seret.”
Sepulang Try Out Pepno pun pergi ke warnet. Hari-hari berikutnya
juga. Tapi ia tetap belajar meski hanya sekilas. Kepandaiannya terbukti
saat pengumuman. Ia berhasil mendapat peringkat lima.
“Tuh kan, Bu. Aku bisa peringkat lima.” Pamer Pepno.
“Iya iya, ibu tau. Besok Minggu kita mau ke bazaar.” Terang ibu.
“Bazar? Bazaar apa?” Tanya Lilan antusias.
“Macem-macem. Ada baju, buku, barang elektronik. Dan semuanya harganya miring!” ibu bersemangat.
“Wah…” Pepno dan Lilan antusias sekali.
“Tapi, ingat. Ibu sama ayah nggak akan bayarin. Kalian beli sendiri, nggak ada subsidi. Titik.” Tegas ibu.
“Kok gitu sih?” protes Pepno. Secara, dia tidak punya tabungan. Uangnya habis untuk game online.
“Ya itu maksud ayah nambahi uang saku kalian. Supaya bisa beli barang kebutuhan sendiri.”
“Paling punya Kak Pepno habis buat main game.” Ledek Lilan.
Pepno hanya bisa berdiam diri dan melihat-lihat saat di bazaar.
Sebenarnya ia ingin membeli headset. Harganya murah beneran. Tapi ia tak
membawa uang tabungannya. Orang nggak punya ngapain dibawa. Ia Cuma
dibelikan sarung tangan sebagai hiburan dari ayah. Tidak seperti Lilan
yang sudah memborong buku dan sibuk memilih-milih baju. Gara-gara game,
sih. Kayak gini deh jadinya. Pepno hanya bisa menyesali perbuatannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar