Aduhai Nabila kini kau telah menjadi milik orang lain, yang kumiliki dari dirimu hanyalah sebatas khayalan.
Sungguh derita berkepanjangan dari kisah yang kita jalani ini,
terlalu indah jika kukenang dengan segala apa yang telah kita jalani
bersama.
Di dalam hati ini masih ada setitik harapan untuk bisa bersamamu,
merajut kasih yang tak ternilai, memadu rindu yang kian membuncah,
melepas dahaga kekeringan cinta yang telah lama kupendam.
Mengapa cerita cinta yang kualami ini sangatlah pahit, terasa resah di setiap waktu ketika memori ini mengenangmu.
Semua ini masih tentangmu dan juga jalan takdirmu yang telah tercatat
di lauful mahfudz bukan untukku, apalah daya dengan semua yang telah
berlalu nyata di lembaran hidupmu.
Kini… diriku… hanyalah bisa memasrahkan diri pada sang Khalik, agar
kuat dalam merintangi cobaan yang menusuk, menghancurkan segala segala
khayalan yang telah lama kubangun bersamamu.
Khayalan terbentuknya Keluarga yang idaman, mempunyai sebuah rumah
kecil, yang dilengkapi segala perabotan rumah tangga lengkap, bisa hidup
bahagia bersamamu, susah senang kita lalui bersama di bawah satu
naungan atap yang sama dan ini serta itu.
Khayalan yang telah kususun rapi di dalam lubuk hati kecil sedang
bahagia, karena ditumbuhi benih-benih cinta dan badai asmara. Badai yang
bisa membuat hidup ini serasa di surga, walau nyatanya sangatlah pahit
dirasa, karena kenyataan takdir baik berlari menjauhiku di ufuk timur
negeri ini.
Sungguh khayalan indah itu kini menjadi duri setelah percakapan
singkat yang telah terjadi beberapa hari yang lalu, yang kusebut dengan
hari yang paling tersial di dunia.
Jika di Negara ini mengijinkanku mengatur jadwal kalender, maka aku
tak segan memberi hari itu sebagai hari tersial dan terkutuk di dunia,
dimana semua petaka hidupku berawal dari situ. Petaka yang telah
membunuh semua pola pikir postifku tentang dirimu dan apa-apa yang ada
sangkut pautnya dengan dirimu.
Telah mencoba berusaha sekuat tenaga diri ini melupakanmu, tapi
apalah daya tentang dirimu yang telah tertanam jauh di bawah alam
sadarku.
Dimana semua memori tentang kita terekam kuat disana, yang sejujurnya
aku pun bingung dengan keadaan hati ini, yang terlalu lama berlarut
dengan kesedihan. Padahal orang yang rindui dan selalu kuingat mungkin
telah bahagia disana, bersama pilihan terkasih dari kedua orangtuanya.
Ah, entahlah mengapa selalu kau yang selalu kurindui, mengisi
hari-hari dengan hadirnya wajahmu di setiap langkahku. harapan ini kian
membuncah ketika kutahu kau tak bahagia dengan suami pilihan orangtuamu.
Tapi aku bukanlah lelaki, yang hanya memikirkan peraasaanku semata,
yang mau menjadi biang keladi dari setiap masalah rumah tanggamu, dengan
hadir memberi dukungan agar kau pergi dari rumahmu. Isu menyebar
pertenkaranmu kian sengit setelah kejadian kemarin, yang mempertemukanku
dengan dirimu.
Kuingat sekali sekilas percakapan singkat yang terakhir kalinya,
sebelum kita berpisah di dekat rumah mu. Mungkinkah itu semua yang
menjadi biang keladi pertikaian dengan suamimu? Jika iya maafkanlah
diriku dan karena aku tak menyangka bisa seperti ini berakhirnya.
Dan ini jelas aku tak tahu kalau kau juga telah bersuami, sehingga
dengan seenaknya kulepaskan semua rinduku padamu. Tanpa ada beban dan
rasa bersalah yang menghinggapiku, jika kau telah menjadi milik orang
lain. Baru kusadar ketika dua bolamata menatapku dengan tajam di
seberang, bolamata yang siap menelanku seutuhnya. Bolamata itu pula yang
kutahu di kemudian hari dia adalah imammu kini dan mungkin selamanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar