A. Pengertian Budaya Carok dan Celurit
Menurut Zulkarnain, dkk. (2003: 75) Carok dalam bahasa Kawikuno
artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga
besar. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak
oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita.
Intinya adalah demi kehormatan,” papar Ibnu Hajar, budayawan Sumenep.
Sebenarnya budaya carok yang sudah menjadi ikon bagi orang Madura,
sampai detik ini masih belum jelas asal-muasalnya. Berdasarkan legenda
rakyat, adalah bermula dari perkelahian antara Pak Sakera dengan dua
bersaudara, Markasan dan Manbakri, yang antek-antek Belanda.
Pada abad ke-18 M.Setelah
Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, JawaTimur,
orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas
selanjutnya adalah celurut. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadikaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa.
B. Tujuan Carok
Carok
senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang yang
melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri, yang
membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada’ tajina (direndahkan
martabatnya). Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban
carok, tidak dikubur di pemakaman umum melainkan di halaman rumah.
Pakaiannya yang berlumur darah disimpan di almari khusus agar pengalaman
traumatik terus berkobar guna mewariskan balas dendam.
Zulkarnain,
dkk. (2003: 80) Sasaran utama carok balasan adalah pemenang carok
sebelumnya atau kerabat dekat (taretan dalem) sebagai representasi
musuh. Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat secara fisik
maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak mampu melakukan carok balasan.
Sedangkan
keberadaan celurit punya makna filosofi di mata orang Madura, ini bisa
dilihat dari bentuknya yang seperti tanda tanya, itu menunjukkan bahwa
orang Madura selalu tidak puas terhadap fenomena yang terjadi di
sekitarnya. Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit selalu
diletakkan di pinggang samping kiri, karena menurut orang Madura tradisi
seperti itu sebagai upaya pembelaan harga diri laki-laki di Madura, dan
sebagai pelengkap karena tulang rusuknya laki-laki kurang satu. Makanya
orang Madura menggunakan celurit untuk melengkapi tulang rusuknya yang
kurang satu. Celurit untuk membela istri, harta, dan tahta ketika
digangu orang lain, dan orang laki-laki Madura belum lengkap tanpa
celurit. Keberadaan orang Madura sebagai orang tegalan yang tandus dan
gersang, membuat mereka merasa kecil dan rendah hati sebagai orang yang
jauh dari pusat kekuasaan Singasari pada waktu itu.
C. Penyebab Eksistensi Carok
Menurut Fakhruddin, dkk. (1991: 132-133). Adapun yang menjadi eksistensi budaya carok sebagai berikut:
1. Alam
yang gersang. Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam
gersang, kemiskinan, dan ledakan demografis. Pelembagaan kekerasan carok
terkait erat dengan mentalitas egolatri (pemujaan martabat secara
berlebihan) sebagai akibat tidak langsung dari keterpurukan ekologis
(ecological scarcity). Lingkungan sosial mengondisikan lelaki Madura
merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Konsekuensinya senjata
tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian yang ditunjukkan
dengan kebiasaan ”nyekep”. Senjata tajam dianggap sebagai kancana sholawat (teman shalawat).
2. Persetujuan
sosial melalui ungkapan-ungakpan. Ungkapan-ungkapan Madura memberikan
persetujuan sosial dan pembenaran kultur tradisi carok.
Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya : Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako
oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai
orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’
(laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an
poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati]
daripada berputih mata [menanggung malu]).
3. Proteksi
berlebihan terhadap kaum wanita. Carok refleksi monopoli kekuasaan
laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap kaum
perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan
taneyan lanjang. Solidaritas
internal antar penghuni kampong meji sangat kuat sedangkan dalam
lingkup sosial lebih luas solidaritas cenderung rendah. Pelecehan atas
salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan martabat
seluruh warga kampong meji.
4. Taneyan
lanjang (halaman memanjang), memberikan proteksi khusus terhadap anak
perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu laki-laki
hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian Barat.
Martabat istri perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki karena istri
dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian). Mengganggu istri
merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura.
5. Upaya
meraih status sosial. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai
alat untuk meraih status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat
dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia
hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri.
Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan.
Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae)
sebagai sosok pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka
yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan
menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat
asal-usulnya yang kelam. Tidak seperti figur kyai yang disegani dan
dihormati karena kemampuannya dalam keagamaan. Yang menarik di sini,
juga terdapatnya figur kyai yang mempunyai latar belakang blater atau
sebaliknya (Wiyata, 2002).
6. Blater
di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo. Tradisi remo (arisan kaum
blater) merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi
carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi, sekaligus
penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun jaringan
sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa mengumpulkan uang dalam jumlah
besar dalam tempo semalam.
Lemahnya
hukum. Kebiasaan para pemenang carok untuk nabang (memperoleh
keringanan hukum melalui rekayasa peradilan) dengan menyuap polisi,
hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan kekerasan di Madura.
Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip
rente ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu sebab memberantas carok ibarat menegakkan benang basah.
D. Prasyarat Carok
Persiapan
untuk melakukan carok, termasuk memenuhi 3 syarat utama, yaitu
kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. (Wiyata, 2002: 45). Untuk lebih
jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kadigdajan
(kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan
diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa penguasaan
teknik bela diri. Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait dengan
apakah orang tersebut punya nyali, angko (pemberani), ataupun juga jago.
2. Tampeng
sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara
non-fisik, seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan
musuh. Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”,
yang akan melakukan “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok.
Aktifitas berkunjung ke seorang ”kiai” ini disebut nyabis.
3. Prasyarat
ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam konteks ini, carok
mempunyai dimensi ekonomi, karena carok membutuhkan banyak biaya. Biaya
diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan menebus
mantra-mantra yang diperlukan, dan membeli celurit dengan kualitas nomor
satu, dan juga diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan
kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang kemungkinan terbunuh
(selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari sejak kematian).
Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan anak) yang
kemungkinan ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara. Untuk pelaku
carok yang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu
merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada
oknum-oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti
terdakwa carok dengan orang lain.
E. Tata Cara Pelaksanaan Carok
Carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu), atau nyelep (menikam musuh dari belakang). Di
zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai.
Semenjak dekade 1970-an carok lebih banyak dilakukan dengan cara nyelep.
Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep maka etika
yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutalisme dan egoisme.
Menurut
Fakhruddin, dkk. (1991: 86), meskipun semua pelaku carok langsug
menyerahkan diri kepada aparat kepolisian, hal ini bukan berarti suatu
tindakan jantan (berani bertanggungjawab atas tindakannya) melainkan
suatu upaya untuk mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian
terhadap serangan balasan keluarga musuhnya. Dan
hal itu kemudian tidak mencerminkan kejantanan sama sekali ketika
proses rekayasa peradilan dilakukan melalui praktek nabang.
F. Celurit Sebagai Simbol Carok
Celurit
dengan kualitas khusus biasanya dibuat atas dasar pesanan, tidak
diperjual belikan secara bebas di pasaran, kecuali celurit yang memang
ditujukan sebagai hiasan. Hal ini terkait karena para pengrajin celurit
tidak mau karyanya disalah-gunakan oleh orang yang memakainya.
(Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005: 64).
Akan
tetapi, di beberapa pasar desa (ibu kota kecamatan), setiap hari
pasaran juga terdapat beberapa pedagang yang secara khusus menjual hasil
usaha kerajinan tersebut. Setiap pedagang senjata tajam selain
menggelar berbagai jenis peralatan yang biasa digunakan untuk kegiatan
pertanian dan rumah tangga, juga menyediakan sekitar 10–15 celurit.
Celurit untuk carok, selalu ditaruh secara tersembunyi di balik tempat
penjualan. Hal ini dimaksudkan agar mereka terhindar dari operasi yang
biasa dilakukan oleh aparat kepolisian. Meskipun demikian, orang yang
memerlukan clurit itu dengan mudah membelinya setelah berbisik-bisik
dengan pihak pedagang.
Jika
pada satu pasar desa, setiap hari pasaran, terdapat 10 orang pedagang
senjata tajam, maka berarti pada saat itu tersedia 100-150 celurit kusus
untuk kepentingan carok. Oleh
karena hari pasaran berlangsung dua hari dalam seminggu, berarti selama
seminggu akan tersedia 200-300 celurit. Di seluruh Kabupaten Bangkalan,
terdapat 18 wilayah kecamatan. Berarti, dalam satu minggu terdapat
sekitar 3.600-5.400 celurit.
Menurut
pengakuan beberapa pedagang, mereka setiap hari pasaran, dapat menjual
rata-rata antara dua atau tiga celurit. Sehingga, setiap minggunya akan
terjual sekitar 40–60 celurit untuk satu pasar, atau 720–1040 celurit
untuk se-Kabupaten Bangkalan. Ini mengindikasikan bahwa upaya
pemberantasan carok di Madura, bukan lagi suatu kemungkinan tetapi dapat
dikatakan sebagai keniscayaan (Wiyata, 2002: 56).
- Celurit dan Kriminalitas
Karena
sangat erat hubungannya dengan praktek carok, celurit kemudian memiliki
kesan sebagai senjata yang menakutkan. Hal tersebut mengakibatkan
senjata ini kerapkali dilibatkan pada banyak tindakan kriminalitas yang
terjadi di Indonesia. Dalam kasus perampokan, penodongan, ataupun
kerusuhan massa, celurit seringkali ikut dilibatkan di dalamnya.
- Karakteistik Dan Ragam Bentuk Celurit
Celurit
merupakan senjata favorit dalam tindakan carok. Celurit sangat efektif
untuk membunuh mengingat bentuknya yang melengkung laksana tubuh
manusia. Jika celurit diayunkan maka seluruh bagian permukaannya yang
tajam bisa memperparah efek sabetan pada bagian tubuh yang rentan
kematian seperti perut, leher, dan kepala.
Celurit yang kita kenal umumnya memiliki bentuk seperti arit yaitu seperti bulan sabit. Sebenarnya
celurit memiliki bentuk yang bermacam-macam. Jenis celurit yang paling
popular adalah are’ takabuwan. Senjata ini merupakan jenis celurit yang
sangat diminati oleh banyak orang Madura, khususnya kawasan Madura
Barat. Nama
takabuwan diambil dari desa tempat dibuatnya yaitu Desa Takabu. Celurit
jenis ini selain bentuknya cukup bagus, tingkat ketajamannya bisa
diandalkan karena bahannya terbuat dari baja berkualitas baik. Badan
celurit berbentuk melengkung mulai dari batas pegangan hingga ujung.
Yang
menjadi tampak menarik, lengkunagn celurit ini sangat serasi dengan
panjangnya yang hanya sekitar 35 - 40 sentimeter. Pegangannya terbuat
dari bahan kayu yang biasanya dicat warna hitam atau coklat tua yag
panjangnya sekitar 7,5 - 10 sentimeter. Cukup pas untuk pegangan tangan
orang dewasa. Biasanya orang memiliki celurit jenis ini bukan untuk
tujuan dipakai sebagai alat rumah tangga atau penyabit rumput, melainkan
sebagai sekep (senjata tajam yang selalu dibawa pergi untuk tujuan
“menjaga segala kemungkinan” jika sewaktu-waktu terjadi carok). Harga
senjata tajam ini di pasaran “gelap” berkisar antara 150 ribu - 200 ribu
rupiah
Selain
itu, ada pula yang disebut dangosok. Nama dangosok diambil dari nama
salah satu jenis buah pisang yang ukuranya lebih pajang dari ukuran
rata-rata pisang biasa. Kata dang meupakan singkatan pengucapan dari
kata geddang (Indonesia : pisang), sedangkan osok menunjukkan jenis
pisang tersebut. Oleh karena itu senjata tajam jenis ini memiliki bentuk
seperti layaknya buah pisang yang banyak ditemukan di Madura dan
panjangnya melebihi ukuran rata-rata celurit. Badan senjata agak
melengkung, panjang sekitar 60 sentimeter dan mempunyai pegangan dari
bahan kayu dengan panjang 40 sentimeter.
Karena
bentuknya yang melebihi ukuran rata-rata celurit pada umumnya, jenis
senjata tajam ini tidak bisa dibawa bepergian, melainkan ditaruh di
dalam rumah yang sewaktu-waktu dapat diambil dengan cepat jika
diperlukan. Celurit jenis ini memiliki efektifitas yang lebih baik
terutama dalam hal jangkauan terhadap sasaran. Oleh karena itu harganya
lebih mahal dibandingkan dengan harga celurit biasa. Harganya di pasaran
sekitar 300 ribu rupiah. Harganya yang mahal juga dikarenakan bahannya
yang menggunakan baja bekas rel kereta api (Wiyata, 2002: 69).
Celurit
jenis lainnya : tekos bu-ambu (bentuknya seperti seekor tikus sedang
diam), lancor (sejenis celurit yang mempunyai variasi lengkungan yang
terdapat di antara tempat pegangan tangan dengan ujung senjata tajam),
bulu ajam (mirip bulu ayam), kembang turi, monteng, calo’ (sejenis
celurit tetapi mempunyai lekukan di bagian tengah batang tubuh).
3. Proses Pembuatan Clurit
Pembuatan
celurit dilakukan oleh para pengrajin Madura secara tradisional dan
melibatkan ritual-ritual khusus, sesuai dengan yang diajarkan oleh
leluhur mereka secara turun-temurun. Salah satu basis pengrajin celurit
yang terkenal di Pulau Madura yaitu di Desa Paterongan, Kecamatan Galis,
sekitar 40 kilometer dari Kota Bangkalan. Di daerah ini sebagaian besar
masyarakatnya menggantungkan hidup sebagai pandai besi pembuat arit dan
celurit. Celurit hasil buatan para pengrajin di Desa Paterongan
terkenal akan kekuatan dan kehalusan pengerjaannya. (Soedjatmoko dan
Bambang Triono, 2005: 58).
Bahan
dasar celurit yaitu baja bekas, dimana biasanya yang sering digunakan
baja bekas rel kereta api atau baja per mobil bekas. Pembuatannya boleh
dibilang sederhana. Batangan-batangan baja atau bahan baku celurit
ditempa berkali-kali di atas tombuk (bantalan besi) hingga didapatkan
bentuk lempengan yang diinginkan. Setelah itu lempengan tersebut
dipanaskan pada temperatur tertentu sambil ditempa kembali di atas
tombuk berulang-ulang sampai terbentuk lengkungan celurit yang
diinginkan. Ketika bentuk lengkungan celurit telah didapatkan, maka
dilakukan pengerjaan akhir yang meliputi penajaman mata celurit,
penghalusan permukaan, pembuatan gagang dan sarung celurit. Pembuatan
celurit ukuran besar biasanya memakan waktu sekitar dua hingga empat
hari. Adapun harga yang dipatok para pengrajin untuk sebuah celurit
tergantung dari bahan, ukuran dan motifnya. Celurit paling murah
harganya sekitar seratus ribu rupiah.
Dalam
mengerjakan sebuah celurit, para pengrajin selalu melakukannya dengan
penuh ketelitian. Sebuah celurit tidak bisa dipandang hanya sebagai
sepotong besi yang ditempa berkali-kali, tetapi harus mencirikan sebuah
karya seni serta memiiki arti dan makna khusus bagi pemiliknya. Karena
itu dalam pembuatan celurit, biasanya para pegrajin berpuasa terlebih
dahulu. Bahkan setiap tahun, tepatnya pada bulan Maulid, para pengrajin
melakukan ritual khusus. Ritual khusus ini disertai sesajen berupa ayam
panggang, nasi dan air bunga, yang kemudian didoakan di musholla.
Setelah didoakan, air bunga disiramkan pada bantalan tempat menempa
besi. Karena itulah tombuk ini kemudian dianggap keramat yaitu pantang
untuk dilangkahi oleh orang. Para pandai besi di paterongan meyakini
apabila ritual ini tidak dilakukan (dilanggar), maka akan dapat
mendatangakan musibah bagi mereka.
G. Tinjauan Sejarah Mengenai Kemunculan Carok Dan Celurit Dalam Budaya Madura
1. Awal Kemunculan
Pada
saat kerajaan Madura dipimpin oleh Prabu Cakraningrat (abad ke-12 M)
dan di bawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), celurit belum
dikenal oleh masyarakat Madura. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan
Semolo, putra dari Bindara Saud, putra Sunan Kudus di abad ke-17 M
tidak ditemukan catatan sejarah yang menyebutkan istilah senjata celurit
dan budaya carok. Senjata yang seringkali digunakan dalam perang dan
duel satu lawan satu selalu pedang, keris atau tombak. (Zulakrnain, dkk.
2003: 63). Pada masa-masa tersebut juga masih belum dikenal istilah
carok.
Munculnya
celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18 M. Pada masa ini,
dikenal seorang tokoh Madura yang bernama Pak Sakerah. (Abdurachman,
1979: 74). Pak Sakerah diangkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan
oleh Belanda. Yang menjadi ciri khas dari Pak Sakerah adalah senjatanya
yang berbentuk arit besar yang kemudian dikenal sebagai celurit (Madura
: Are’), dimana dalam setiap kesempatan, beliau selalu membawanya
setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.
Pak
Sakerah merupakan seorang mandor yang jujur dan taat menjalankan ibadah
sehingga disukai oleh para buruh. Namun pada suatu ketika, dia dijebak
dan difitnah oleh bos-nya sendiri. Untuk mengembalikan citra dirinya,
Pak Sakerah kemudian membunuh bos beserta kaki tangannya dengan
menggunakan celurit. Di akhir kisah, Pak Sakerah akhirnya tertangkap dan
dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur oleh Belanda. Sesaat sebelum
dihukum gantung, Pak Sakerah sempat berteriak.: “Guperman korang ajar,
ja’ anga-bunga, bendar sengko’ mate, settong Sakerah epate’e, saebu
sakerah tombu pole” (Guperman keparat, jangan bersenang-senang, saya
memang mati, satu Sakerah dibunuh, akan muncul seribu Sakerah lagi).
Sejak saat itulah orang-orang Madura kalangan bawah mulai berani
melakukan perlawanan kepada penindas, dimana senjatanya adalah celurit,
sebagai simbolisasi figur Pak Sakerah.
Untuk
mengatasi perlawanan rakyat Madura, Belanda kemudian berupaya untuk
merusak citra Pak Sakerah. Hal ini dikarenakan beliau merupakan seorang
pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat
menjalankan agama Islam sehingga banyak perlawanan rakyat Madura yang
terispirasi oleh kisah kepahlawan beliau. Belanda kemudian sengaja
mempersenjatai golongan blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan
Belanda, dengan senjata celurit yang bertujuan merusak citra Pak Sakerah
sebagai tokoh yang mempopulerkan senjata tersebut. Mereka kemudian
diadu domba dengan sesama bangsanya sebagai perwujudan politik devide et
impera.
Karena
provokasi Belanda itulah, seringkali terjadi pertarungan antara
golongan blater yang merupakan kaki tangan belanda dengan golongan
blater dari kalangan yang memberontak kepada Belanda. Pertarungan sampai
mati inilah yang kemudian dikenal sebagai carok. Pada saat melakukan
carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana
yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan
celurit sebagai senjata andalannya. Celurit digunakan Pak Sakerah
sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.
Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan
dan penjahat.
Kemunculan
celurit menurut kisah Pak Sakerah ini terdapat kesesuaian dengan hasil
penelitian De Jonge yang dikutip oleh (A. Latief Wiyata, 2002: 64). De
Jonge mengutip laporan seorang asisten residen di Bangkalan, Brest van
Kempen, yang menyatakan bahwa antara tahun 1847 - 1849, keamanan di
pulau Madura sangat memprihatinkan mengingat hampir setiap hari terjadi
kasus pembunuhan. Bandingkan dengan kisah Pak Sakerah dan peristiwa
kekacauan yang terjadi setelah beliau wafat, dimana menurut catatan
sejarah juga terjadi pada awal abad 18 (Abdurachman, 1979: 142).
De
Jonge juga memaparkan laporan lain dari arsip pemerintahan kolonial
yang menunjukkan bahwa banyak terjadi kasus pembunuhan pada masa itu. Pada
tahun 1871 di Sumenep tercatat satu kasus pembunuhan untuk 2.342 jiwa.
Untuk mengatasi hal ini pemerintah kolonial bukan saja memperkuat tenaga
pelaksana hukum dan polisi tetapi juga mengeluarkan larangan membawa
senjata tajam.
Munculnya tindakan kekerasan dalam angka yang sangat tinggi tersebut paling tidak diakibatkan oleh dua hal. Pertama,
kekurang perhatian pemerintah pada waktu itu terhadap masyarakat
Madura. Kedua, sebagai konsekuensi dari penyebab pertama, masyarakat
menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau
konflik pribadi selalu diselesaikan dengan cara mereka sendiri yaitu
dengan carok. Senjata
tajam yang sering digunakan dalam aktifitas ini yaitu celurit. Larangan
membawa senjata tajam yang dikeluarkan pemerintahan kolonial
menunjukkan banyaknya orang Madura yang ”nyekep” (membawa senjata
tajam). Ini berarti kebiasaan nyekep baru dimulai pada waktu itu dimana
kondisi keamanan Madura sangat memperihatinkan saat itu.
- Pergeseran Nilai
Dari
tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai filosofis
penggunaan celurit bagi masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan
simbolisasi figur Pak Sakerah sebagai sosok yang berani melawan ketidak
adilan dan penindasan. Namun, keberadaan celurit yang kita rasakan
sekarang kenyataanya lebih melambangkan figur blater yang identik dengan
kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celurit kini telah melambangkan
tindakan anarkis, egois dan brutal yang dibuktikan dengan maraknya
praktek carok yang dilakukan secara nyelep. Untuk itu, perlu upaya guna
meluruskan kembali persepsi yang salah ini.
Dapat
diketahui bahwa upaya Belanda untuk merusak citra Pak Sakerah rupanya
berhasil merasuki pola pikir sebagian besar masyarakat Madura dan
menjadi falsafah hidupnya. Apabila
ada permasalahan menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan
penyelesaian yang dianggap paling baik adalah melalui carok dengan
menggunakan celurit.
Istilah
yang sering dipakai adalah : “ango’an poteya tolang etembang poteya
mata”, artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung
malu. Istilah lainnya yang dipakai yaitu Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako
oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai
orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi
(laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an
poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati]
daripada berputih mata [menanggung malu]), lokana daging bisa ejai’,
lokana ate tada’ tambana kajabana ngero’ dara (jika daging yang terluka
masih bisa diobati atau dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada
obatnya kecuali minum darah). Ungkapan-ungkapan ini yang kemudian
mendukung eksistensi carok dimana senjata yang digunakan selalu celurit.
(Wiyata, 2002: 63).
Setelah
sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok
dan penggunaan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik
itu di Bangkalan, Sampang, Pamekasan maupun Sumenep. Masyarakat Madura
terjebak pada stereotip bahwa budaya tersebut merupakan tindakan
agresivitas semata-mata atas nama menjujunjung harga diri tanpa
memandang nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Mereka tidak
menyadari bahwa campur tangan Belanda telah manjauhkan falsafah hidup
mereka dari apa yang diperjuangkan Pak Sakerah.
Dengan
demikian, penggunaan celurit sudah tidak lagi mencerminkan figur Pak
Sakerah yang dikenal sebagai seorang yang jujur, rajin beribadah dan
disukai banyak orang serta berani melawan ketidak adilan. Celurit tidak
lagi melambangkan figur seorang ksatria seperti yang dipraktekkan Pak
Sakera ketika dengan gagah berani melawan Belanda dan kaki tangannya,
tetapi lebih melambangkan figur premanisme dari sosok blater. Kapasitas ke-blater-an ini ditunjukkan dengan keberanian mereka untuk melakukan carok.
Carok
dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa
dipisahkan. Celurit yang telah digunakan dalam praktek carok biasanya
disimpan oleh keluarganya sebagai benda kebanggaan keluarga. Lumuran
darah yang menempel pada celurit tetap dibiarkan sebagai bukti
eksistensi dan kapasitas leluhur mereka sebagai orang jago (blater)
ketika masih hidup. Celurit ini nantinya akan diwariskan secara
turun-temurun kepada anak laki-laki tertua. Hal ini menunjukkan bahwa
celurit merupakan simbol dari proses sejarah peristiwa carok yang
dialami leluhur mereka. Simbol ini mengandung makna bukan hanya sekedar
penyimpanan memori melainkan lebih sebagai media untuk mentransfer
kebanggan kepada anak cucu karena menang carok dan kebanggan sebagai
keturunan blater.
Keberadaan
celurit bagi kaum blater sangat penting artinya baik sebagai sekep
maupun sebagai pengkukuhan dirinya sebagai oreng jago. Nyekep merupakan
kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh kebanyakan laki-laki Madura,
khususnya di pedesaan. Pada segala kesempatan mereka tidak lupa untuk
membawa senjata tajam terutama ketika sedang mempunyai musuh atau
menghadiri acara remo.
Cara
orang Madura nyekep celurit biasanya berbeda dengan jenis senjata tajam
lainnya. Celurit biasanya diselipkan di bagian belakang tubuh
(punggung) dengan posisi pegangan berada di atas dengan maksud agar
mudah dikeluarkan (digunakan). Senjata tajam sudah dinggap sebagai
pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari tubuh laki-laki madura
khususnya kaum blater. Hal ini ditunjukkan dengan adanya anggapan dari
kaum laki-laki Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-mana
untuk melengkapi tulang rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu.
Begitu
berharganya keberadaan senjata tajam ditunjukkan juga melalui ungkapan
orang Madura ”Are’ kancana shalawat” (celurit merupakan teman sholawat).
Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu membaca sholawat
pada setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan
ini menunjukkan bahwa orang Madura merasa tidak cukup hanya berlindung
kepada agama/Tuhan saja, sehingga dibutuhkan senjata tajam sebagai
sarana melindungi dan mempertahankan diri.
H. Menyikapi Nilai-Nilai Negatif Budaya Madura
Latief
Wiyata (2002: 38) menyatakan bahwa budaya Madura sesungguhnya memang
sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang positif. Hanya
saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif
sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotip tentang orang
Madura, dan lahir citra yang tidak menguntungkan. Lebih daripada itu,
pandangan mereka terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura selalu
cenderung negatif.
Kenyataan
ini tampaknya memang sulit dielakkan karena dua faktor yaitu geografis
dan politis. Pertama, secara geografis pulau Madura sebagai tempat orang
Madura mengalami proses sosialisasi sejak awal lingkaran kehidupannya,
letaknya sangat dekat dan berhadapan langsung dengan Pulau Jawa-tempat
orang Jawa mengalami proses yang sama. Setiap bentuk interaksi sosial
orang Madura dengan orang luar mau tidak mau pertama-tama akan terjalin
dengan orang Jawa sebagai pendukung kebudayaan Jawa. Oleh karena dalam
interaksi sosial pasti akan terjadi sentuhan budaya sedangkan kebudayaan
Jawa sudah telanjur diakui sebagai kebudayaan dominan (dominant
culture) maka dalam ajang persentuhan budaya tersebut masyarakat dan
kebudayaan Madura menjadi tersubordinasi sekaligus termarginalkan.
Kedua,
fakta sejarah telah menunjukkan bahwa posisi Madura secara politik
hampir tidak pernah lepas dari kekuasaan (kerajaan-kerajaan) Jawa. Fakta
ini kian mempertegas posisi subordinasi dan marginalitas masyarakat dan
kebudayaan Madura. Oleh karenanya, mudah dipahami apabila setiap kali
orang Madura akan mengekspresikan dan mengimplementasikan nilai-nilai
budaya Madura dalam realitas kehidupan sosial mereka akan selalu
cenderung “tenggelam” oleh pesona nilai-nilai adhi luhung budaya Jawa.
Menghadapi
realitas sosial budaya ini maka tiada lain yang dapat dan harus
dilakukan oleh orang Madura adalah segera melakukan revitalisasi
nilai-nilai budaya Madura. Untuk melakukan upaya ini tentu tidak terlalu
sulit oleh karena para seniman, budayawan, pakar budaya serta
orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap budaya Madura secara
bersama-sama dapat berperan dan berfungsi sebagai penggali dan penyusun
kembali secara sistematis dan komprehensif nilai-nilai budaya Madura
yang tidak kalah adhi luhung-nya dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sebab,
tidak mustahil banyak nilai-nilai budaya tersebut selama ini masih
“terpendam” atau sangat mungkin sudah mulai “terlupakan”.
Jika
semuanya ini benar-benar dilakukan maka nilai-nilai luhur budaya Madura
akan tetap eksis dan mengemuka sebagai referensi utama bagi setiap
orang Madura dalam hal berpikir, bersikap, dan berperilaku. Lebih-lebih
ketika mereka harus membangun dan menjalin interaksi sosial dengan
orang-orang di luar kebudayaan Madura.
Dengan
demikian stigma yang selama ini melekat lambat laun akan terhapus,
sehingga masyarakat dan kebudayaan Madura tidak akan lagi
termarginalkan. Bahkan, ke depan tidak tertutup kemungkinan pada suatu
saat masyarakat dan kebudayaan Madura justru akan muncul sebagai salah
satu alternatif referensi bagi masyarakat dan kebudayaan lain.
- Mengangkat Nilai Positif Madura Melalui Nilai-Nilai Luhur Celurit
Menurut Abdurachman, (1979: 73) sebenarnya
Budaya Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang religius, yang
berkeadaban dan sederetan watak positif lainnya dimana sesuai dengan
julukan pulau Madura sebagai pulau seribu pesantren. Akan tetapi bagi
orang yang tidak memahami budaya dan keluhuran Maduran, keluhuran nilai
budaya tersebut pada sebagian orang Madura tidak mengejawantah karena
muncul sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan,
seperti sikap serba sangar, mudah menggunakan celurit dalam
menyelesaikan masalah, pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan. Akibatnya, timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.
Orang
yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang orang
Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas ke Madura, berangkat
dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra
orang Madura yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah
berada di Madura, ternyata hampir semua pandangannya tentang orang
Madura berubah 180 derajat. Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan
bahwa orang Madura ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima
tamu. Nilai-nilai positif ini perlu diangkat untuk dilestarikan dan
dikembangkan guna memperbaiki citra Madura.
- Redefinisi, Reinterpretasi, dan Revisi Ungkapan -Ungkapan
Dinas Pariwisata, (1993: 68) mengangkat
nilai-nilai positif celurit ini dapat juga dilakukan dengan
meredefinisi atau mereinterpretasi ungkapan-ungkapan yang berkaitan
dengan keberadaan celurit dimana selama ini berkonotasi kurang baik.
Ungkapan ini contohnya yaitu Are’ kancana shalawat, dimana selama ini
diartikan bahwa orang Madura tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan
saja, sehingga membutuhkan senjata yaitu celurit untuk menjaga diri.
Secara harfiah pengertian ini memang benar adanya, terutama menurut
pandangan islam. Senjata memang merupakan alat pertahan diri untuk
melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Hal ini dicontohkan pada
masa kepemimpinan rasul dan para sahabat (khalifah) dimana dilakakukan
serangkaian peperangan terbuka dengan mengangkat senjata guna berjihad
menegakkan syari’at islam.
Sayangnya
semangat jihad ini tidak masuk dalam persepsi masyarakat Madura
terhadap ungkapan “are’ kancana shalawat”. Keberadaan celurit selalu
dimaknai sebagai sarana melindungi diri secara horisontal yang
kenyataanya cenderung anarkis, dan egois, bahkan brutal. Untuk itu
ungkapan tersebut perlu mendapat tambahan “….gabay ajihad” menjadi “are’
kancana shalawat gabay ajihad”. (Celurit merupakan teman shalawat demi
kepentingan jihad/berjuang di jalan Allah).
Dengan
ini tentu jelas bagi masyarakat Madura yang mayoritas penduduknya
adalah muslim bahwa celurit tidak lagi dapat diartikan sebagai alat
untuk menyabet orang secara sembarangan. Penggunaan celurit harus
dilandasi oleh semangat keislaman yaitu untuk kepentingan dakwah dan
demi menegakkan syariat Islam.
Contoh
ungkapan lainnya yang perlu direvisi yaitu yang berhubungan dengan
persetujuan sosial terhadap tindak kekerasan di Madura melalui carok.
Misalnya : “Etembhang pote mata, bhango’ pote tolang”. (Dibandingkan
putih mata lebih baik putih tulang = dibanding menanggung malu lebih
baik mati). Ini kita berikan penafsiran baru menjadi ajaran untuk
meneguhkan semangat berkompetisi. Kalau tidak ingin “pote mata”, kita
harus memperbaiki diri, meningkatkan kapabilitas, sehingga tak perlu
“pote tolang” Ungkapan itu perlu diubah menjadi “ta’ terro pote mata,
ta’ parlo pote tolang” Bandingkan dengan “Hidup mulya atau mati syahid”.
- Perubahan Perilaku
Upaya
membangun citra positif Madura melalui celurit ini perlu diikuti dengan
perubahan perilaku dari sebagian “taretan dibhi’ ” (masyarakat Madura
di manapun berada). Untuk
itu perlu dilakukan studi, perilaku apa yang tidak disukai oleh orang
lain, serta perilaku apa yang disukai. Perilaku yang tidak disukai kita
kurangi atau dieliminasi, sedang yang disukai kita kembangkan dan
dijadikan modal dalam membangun citra. Diantara sikap-sikap dan
kebiasaan yang perlu ditinggalkan adalah kebiasaan nyekep.
Perubahan perilaku ini memang membutuhkan proses panjang, kesungguhan dan keserempakan (sinergi). Peningkatan
pendidikan masyarakat adalah jawaban yang tepat untuk ini. Penanaman
budi pekerti luhur sejak dini di kalangan anak-anak mutlak diperlukan.
Juga perlu keteladanan dari para tokoh utamanya yaitu ulama dan para
pemimpin formal.
Hal
tersebut dapat dilihat seperti yang dilakukan dalam sebuah perguruan
silat di Madura, yaitu perguruan pencak silat Joko Tole, dimana para
muridnya juga diajarkan cara menggunakan clurit. Sebagai sebuah
perguruan pencak silat yang cukup terkenal di Indonesia karena telah
banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional berprestasi, perguruan
Joko Tole selalu mengajarkan murid-muridnya untuk memiliki jiwa ksatria
karena nama Joko Tole itu sendiri merupakan nama seorang ksatria dari
daerah Sumenep.
Perguruan
silat ini juga mengajarkan kepada muridnya bahwa penggunaan clurit
tidak sekedar untuk melumpuhkan lawan. Untuk menggunakan senjata clurit
setiap murid harus memiliki jiwa yang bersih dan berlandaskan agama.
(Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005: 54). Karena itulah celurit harus
dipandang sebagai lambang ksatria, sehingga penggunaannya tidak
dilakukan untuk menyabet orang sembarangan.
Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu budayawan Madura, Zawawi
Imron, melalui puisinya yang berjudul “Celurit Emas”. Celurit jangan
lagi dilihat semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan diri atau
menebas leher orang, akan tetapi bagaimana celurit ini kita maknai
sebagai alat untuk “menebas ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan”.
(Kadarisman, 2006: 57).
“roh-roh
bebunga yang layu sebelum semerbak itu mengadu ke hadapan celurit yang
ditempa dari jiwa. Celurit itu hanya mampu berdiam, tapi ketika tercium
bau tangan yang pura-pura mati dalam terang dan bergila dalam gelap ia
jadi mengerti: wangi yang menunggunya di seberang. meski ia menyesal
namun gelombang masih ditolak singgah ke dalam dirinya. nisan-nisan tak
bernama bersenyuman karena celurit itu akan menjadi taring langit, dan
matahari akan mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci. celurit itu
punya siapa? amin!”
Membangun
citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi
bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar
keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya
kesadaran bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh
Orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang
berbunyi: “Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura” (Cuma orang
Madura yang mengerti bahasa madura).
Semangat
untuk memajukan Madura ini harus terus diperjuangkan seperti yang
tercermin dalam sajak D. Zawawi Imrom dalam kumpulan puisi Celurit
Emas-nya:
“Bila
musim melabuh hujan tak turun. Kubasahi kau dengan denyutku. Bila
dadamu kerontang. Kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam
kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu. Akulah anak sulung yang sekaligus
anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan.
Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku. Di bubung langit kucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu”.
0 komentar:
Posting Komentar